SISI GELAP FANDOM: KEKERASAN SIMBOLIK DAN ETIKA KOMUNIKASI DI ERA DIGITAL
BY: Dinda Oktavia Ramadhani (24010400014)
Dosen Pengampu: Dr. Nani Nurani Muksin s.Sos M.si
Mata Kuliah: Filsafat dan Etika Komunikasi.
Di era digital, menjadi penggemar atau fans bukan lagi sekadar mengidolakan artis dari kejauhan. Kini, para penggemar membentuk komunitas yang dikenal sebagai fandom ruang sosial yang aktif, produktif, dan sering kali membanggakan, seperti komunitas BTS ARMY. Fandom ini tidak hanya menyuarakan cinta kepada idolanya, tapi juga menggerakkan aksi sosial seperti donasi kemanusiaan dan kampanye digital global.
Namun, di balik semua pencapaian luar biasa itu, terselip satu sisi yang sering luput dari sorotan: perundungan digital (cyberbullying) dalam fandom itu sendiri. Mirisnya, mereka yang menjadi korban bukanlah haters atau anti-fans, tapi sesama anggota fandom yang "berbeda pendapat".
- Ketika Kritik Dibalas dengan Teror
Perundungan digital di fandom biasanya muncul saat seseorang mengungkapkan opini yang tak sejalan dengan narasi umum. Misalnya, hanya dengan mengatakan bahwa "suara idola terdengar berbeda saat live", seorang pengguna Reddit langsung dibanjiri hinaan dan bahkan diancam doxing (penyebaran data pribadi).
Kejadian serupa tak hanya muncul satu sampai dua kali. Banyak pengguna media sosial dan forum seperti Reddit hingga Weverse mencurahkan pengalaman pahit mereka sebagai korban perundungan dari anggota fandom yang terlalu fanatik.
Bahkan, dalam penelitian terbaru oleh Laffan, Stenson, dan Flood (2022), terungkap bahwa meskipun fandom seperti ARMY memberikan rasa kebersamaan, banyak anggotanya tetap mengalami tekanan psikologis karena perilaku intimidatif dari sesama fans.
- Bahasa Bisa Menjadi Senjata Kekuasaan
Fenomena ini bisa dijelaskan melalui teori sosiolog Pierre Bourdieu, yang menyebut bahwa bahasa tidak hanya alat komunikasi, tapi juga alat kekuasaan. Dalam komunitas fandom, kelompok mayoritas sering kali menggunakan bahasa baik itu hinaan, sindiran, atau makian untuk mendominasi dan membungkam pendapat yang berbeda.
Sosiolog Jrgen Habermas juga menekankan pentingnya komunikasi yang rasional dan setara. Namun dalam realitanya, ruang diskusi di fandom sering kali justru berubah menjadi ruang intimidasi, bukan dialog terbuka.
Hal ini diperparah oleh sifat anonim di media sosial. Penelitian oleh Nasya Putri Nariswari (2025) menunjukkan bahwa anonimitas dan rendahnya kecerdasan emosional anggota fandom menjadi faktor utama yang mendorong agresi verbal dalam komunitas daring.
 - Solidaritas yang Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua
Kekuatan kolektif fandom sejatinya bisa membawa dampak besar dari menyuarakan keadilan sosial hingga menggalang dana untuk bencana alam. Namun, seperti disampaikan Sumardiono (2022), jika kekuatan ini tidak diiringi dengan etika komunikasi, ia bisa berubah menjadi alat penindasan.
Ketika solidaritas berubah menjadi fanatisme buta, kritik konstruktif dianggap sebagai serangan, dan yang berbeda pendapat pun dianggap musuh.
Menuju Komunitas yang Lebih Sehat dan Berempati
Lalu, bagaimana cara agar fandom tetap menjadi ruang yang sehat, ramah, dan produktif?
1. Menguatkan Literasi Etika Komunikasi
Edukasi mengenai bagaimana berkomunikasi secara sehat di dunia digital perlu lebih digencarkan. Admin grup dan influencer fandom bisa memulai dengan membuat konten-konten edukatif tentang pentingnya menghargai perbedaan.
2. Membuka Ruang Diskusi yang Aman
Forum diskusi dengan moderator netral bisa menjadi solusi untuk mewadahi perbedaan pendapat secara terbuka, seperti yang dicita-citakan dalam teori "komunikasi ideal" milik Habermas.
3. Menanamkan Nilai Empati dan Menghindari Fanatisme Berlebihan
Empati adalah kunci utama dalam berkomunikasi. Idol seperti BTS sendiri dikenal sebagai sosok yang menghargai keragaman dan saling menghormati maka sudah seharusnya nilai itu diteladani pula oleh para penggemarnya.
Fandom semestinya menjadi ruang aman bagi semua orang yang memiliki cinta terhadap idola yang sama. Namun tanpa etika, ruang ini bisa berubah menjadi medan pertempuran verbal yang mematikan secara psikologis.
Di era digital yang serba cepat ini, kita perlu kembali meneguhkan nilai-nilai dasar dalam komunikasi: empati, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Hanya dengan itu, komunitas digital termasuk fandom bisa menjadi tempat yang benar-benar inklusif, menyenangkan, dan mendukung satu sama lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI