Mohon tunggu...
Dinda Amelia Putri
Dinda Amelia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implikasi Sengketa Laut China Selatan terhadap Keamanan Maritim Indonesia

24 Mei 2024   11:41 Diperbarui: 26 Mei 2024   18:12 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama: Dinda Amelia Putri

Asal Instansi: UIN Syarif Hidayatullah

Laut China Selatan merupakan wilayah strategis dengan jalur pelayaran internasional utama serta melimpahnya cadangan sumber daya alam seperti ikan dan minyak bumi. Namun, klaim wilayah yang saling tumpang tindih antara beberapa negara di kawasan ini telah menciptakan ketegangan besar dalam hubungan geopolitik. China, misalnya, mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan dengan garis putus-putus yang disebut sebagai ten dash-line dan tradisional fishing zone. Dengan adanya garis ini, klaim wilayah China mencakup perairan yang lebih luas di Laut Cina Selatan. Mereka juga memperluas kehadirannya di wilayah tersebut dengan membangun pulau buatan dan meningkatkan kehadiran militer. Selain China, negara-negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan juga mengklaim sebagian wilayah yang sama. Ketegangan antara negara-negara ini terus meningkat karena persaingan klaim wilayah dan sumber daya alam di Laut China Selatan.

Klaim yang didasarkan pada sejarah membedakan China dari negara-negara lain yang juga mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan. Negara-negara di sekitar perairan tersebut mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan berdasarkan fitur-fitur geografis dan perairan di sekitarnya, sedangkan China justru mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh wilayah di Laut Cina Selatan. Klaim ini merupakan geostrategis yang dilakukan China dengan tujuan untuk menjaga keamanan sumber daya alam, rute perdagangan, dan distribusi energi. Pemahaman ini membuat klaim China tidak hanya menjadi yang paling luas di sana, tetapi juga merupakan klaim yang paling ambigu jika dibandingkan dengan klaim negara lain di wilayah tersebut, menurut analisis Sheldon W. Simon.

Indonesia, meskipun bukan negara yang mengklaim wilayah utama di Laut China Selatan, tetap memiliki kepentingan besar dalam menjaga kedaulatan dan keamanan maritimnya, terutama di sekitar Kepulauan Natuna Utara. China, berdasarkan argumen sejarah, menyatakan bahwa wilayah tersebut telah menjadi bagian dari wilayahnya sejak zaman kuno, merujuk pada catatan sejarah China yang mencatat bahwa Laut China Selatan telah menjadi bagian dari wilayahnya sejak abad ke-2 SM. Sementara itu, Indonesia mengklaim kedaulatannya atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Laut Natuna Utara sesuai dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). UNCLOS adalah perjanjian internasional yang mengatur hukum laut, termasuk hak dan kewajiban negara-negara di laut. Menurut UNCLOS, setiap negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam di ZEE-nya, termasuk minyak dan gas bumi.

Meskipun pemerintah China menolak anggapan tentang adanya tumpang tindih wilayah di perairan Natuna Utara, sejumlah insiden yang mengancam kedaulatan Indonesia sering kali terjadi di wilayah ini. Ketegangan di Laut China Selatan juga tidak hanya berdampak pada keamanan perbatasan Indonesia, tetapi juga pada aktivitas ekonomi di kawasan tersebut. Jalur pelayaran di Laut China Selatan merupakan salah satu yang tersibuk di dunia, dengan ribuan kapal yang melintas setiap hari, mengangkut barang-barang penting yang bernilai triliunan dolar. Gangguan terhadap keamanan jalur pelayaran ini dapat memiliki dampak signifikan terhadap perdagangan global dan ekonomi Indonesia.


Pada bulan Januari 2020 misalnya, Indonesia dihadapkan pada tindakan China yang mengirimkan kapal nelayan dan penjaga pantai ke wilayah Laut Natuna Utara. China mengklaim bahwa mereka memiliki hak untuk menangkap ikan di area tersebut, namun Indonesia dengan tegas menolak klaim dan menegaskan kedaulatannya atas Laut Natuna Utara. Sebagai tanggapan, Indonesia menurunkan kapal perang dan pesawat tempur untuk melakukan pengawasan dan mengusir kapal-kapal China, sebagai bentuk komitmen untuk mempertahankan wilayahnya. Dilansir dari Kompas, pada tanggal 8 September 2022, Kapal China Coast Guard kembali terdeteksi masuk ke perairan Natuna yang merupakan ZEE milik Indonesia. Kapal tidak hanya melintas damai, namun juga terdapat dugaan bahwa kapal tersebut melakukan tindakan intimidasi terhadap nelayan lokal yang sedang beraktivitas melaut.

Insiden pelanggaran oleh kapal patroli dan kapal nelayan China yang memasuki ZEE  milik Indonesia pun telah beberapa kali terjadi, menguji kemampuan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya. Aktivitas militer asing di sekitar wilayah perairan Indonesia menjadi tantangan serius bagi kedaulatan maritim negara. Kemudian, aktivitas penangkapan ikan illegal, unreported, and unregulated Fishing (IUU fishing) di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing, terutama dari negeri tirai bambu juga mengancam keberlanjutan sumber daya laut Indonesia. IUU fishing mengurangi stok ikan secara signifikan, merugikan nelayan lokal, dan mengancam ekosistem laut. Insiden ini memaksa Indonesia untuk meningkatkan patroli maritim dan mengimplementasikan kebijakan yang lebih ketat untuk melindungi sumber daya lautnya. 

Lebih lanjut, pada bulan Desember 2021, China kembali memicu ketegangan dengan meminta Indonesia untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di Laut Natuna Utara, sembari mengklaim wilayah tersebut sebagai miliknya. China mengirimkan surat protes kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia, menuduh Indonesia melanggar hukum internasional. Indonesia dengan tegas menolak tuntutan China, menyatakan bahwa kegiatan pengeboran tersebut merupakan hak kedaulatannya. Untuk memperkuat posisinya, Indonesia juga melaksanakan latihan militer di wilayah tersebut.

Dengan meningkatnya ancaman di sekitar Laut Natuna Utara, penggunaan opsi militer semakin ditekankan untuk menjaga keamanan maritim Indonesia. Bahkan, pada tahun 2016, KRI Imam Bonjol-383 yang sedang melakukan patroli melepaskan tembakan dan mengenai salah satu kapal nelayan Tiongkok yang sedang melakukan pencurian ikan di perairan Natuna. Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia terlihat lebih menekankan penggunaan kekuatan militer, yang ditandai dengan penempatan sejumlah kapal perang dan pelaksanaan latihan militer dengan negara-negara mitra dalam meningkatkan kapabilitas maritimnya.

Ketegangan di Laut Cina Selatan juga menciptakan ketegangan regional yang dapat mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Ketidakpastian politik dan ketegangan antara negara-negara yang terlibat dapat menciptakan lingkungan yang tidak stabil di sekitar Indonesia. Ketegangan di Laut China Selatan mengharuskan Indonesia untuk terlibat lebih aktif dalam diplomasi internasional dan kerja sama regional. Indonesia memainkan peran penting dalam ASEAN dan forum-forum internasional lainnya untuk meredakan ketegangan dan mencari solusi damai atas sengketa tersebut. Melalui diplomasi yang efektif, Indonesia berupaya memastikan bahwa kepentingan dan kedaulatannya diakui dan dihormati oleh negara-negara lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun