Dari kecil sampai sekarang, saya selalu menyukai kegiatan yang berhubungan dengan seni. Baik sebagai penikmat, maupun sebagai orang yang berkreasi dengan seni itu sendiri. Konon, almarhumah ibu pernah mengatakan pada saya bahwa darah seni yang mengalir pada diri saya diwariskan oleh amarhum Mbah Kakung, ayah dari pihak ibu.
Meskipun saya tidak pernah melihatnya (Mbah Kakung meninggal sewaktu usia saya baru setahun), saya dapat melihat dari foto-foto peninggalan zaman dulu bahwa almarhum Mbah Kakung memang orang yang menyukai keindahan. Penampilannya saja selalu rapi dan necis. Beliau juga hobi mendengarkan musik klasik dari gramofon yang distelnya. Selain Mbah Kakung, ayah saya juga yang semasa sehatnya masih bekerja sebagai insinyur dan arsitek, suka menggambar-gambar rumah dan bangunan. Bisa juga bakat seni saya diturunkan oleh ayah kandung saya.
Kalau saya sendiri, dulu waktu masih rajin (sekarang sudah banyak gangguan sejak adanya sosial media di smartphone.. yah, salahkan saja teknologi kalau sudah begitu, hi hi..) suka menggambar-gambar wajah orang. Mungkin karena saya sering mengamati iklan-iklan di televisi, majalah dan surat-surat kabar, jadi saya suka saja melihat wajah-wajah yang tampan dan cantik. Lalu saya buatkan gambar wajah cantik dan tampan tersebut di buku gambar saya dengan pinsil. Biasanya, saya menggambar sambil menyetel musik instrumental yang slow.. pura-puranya saya jadi Jack Dawson yang sedang asik menggambar dalam film Titanic(bukan jadi si Rose De Witt Bukater, yach ).
 Saya nggak tahu apakah itu buku mewarnai memang sebagai obat penghilang rasa stres, karena beberapa orang justru berkomentar setelah melihat buku itu, "Wah kalau gue sih malah tambah stres harus mewarnai sketsa yang detail kayakgini." Yang jelas, saya mulai menemukan keasikan tersendiri ketika mewarnai buku-buku mewarnai atau antistresscoloring book tersebut. Kalau sudah mewarnai, saya bisa betah berjam-jam di balik meja, entah itu mewarnai di dapur, di ruang makan, atau di kamar sebelum tidur. Yang tadinya mengantuk, malah tidak jadi ngantuk, ha ha...
Mengapa tidak jadi mengantuk? Karena setelah selesai mewarnai satu bagian, misalnya helai bunga, maka saya akan memikirkan warna apa yang cocok dipasangkan dengan bunga ini untuk helai daunnya? Terkadang, saya juga tidak sambil mikir untuk mengambil warna apa untuk motif tersebut, tapi spontan saja ambil yang terlintas di kepala. Misalkan saja, mengapa helai daun harus selalu hijau? Mengapa tidak bisa kuning? Jadinya saya bubuhkan warna kuning untuk helai daun tersebut.
Kata para ahli, itu yang dinamakan Brain Gym. Jadi, mewarnai bermanfaat untuk melatih dan menyeimbangkan kemampuan otak kiri dan otak kanan kita. Otak kiri yang biasa digunakan untuk kegiatan rasional atau logika, sementara otak kanan berkaitan erat dengan kegiatan kreativitas. Bahkan, menurut pakar psikologi analitik Carl Jung, terapi mewarnai diberikan kepada para pasiennya agar dapat bersikap lebih tenang dan rileks dalam memecahkan sebuah persoalan.
Kegiatan mewarnai buku motif ini pun menarik perhatian keponakan-keponakan saya yang datang berkunjung ke Jakarta setiap akhir pekan. Meskipun motifnya memang lebih rumit untuk anak kecil (sementara dua keponakan saya masih berusia sepuluh tahun ke bawah), saya biarkan saja mereka mengacak-acak buku motif saya.. tapi di halaman yang masih belum saya warnai, tentunya (tante yang pelit ^_^).
Bagi saya sendiri, kegiatan mewarnai ini menjadi pelipur rasa bosan dan penat di sela-sela mengurus ayah yang sedang sakit. Dan, ternyata, Ayah saya pun jadi penasaran dengan gambar-gambar yang saya warnai. Pernah suatu hari saya perlihatkan kepadanya salah satu gambar monumen di kota Paris yang pernah dikunjunginya, lalu beliau jadi terkenang beberapa tempat sambil berusaha mengingat nama-nama tempat tersebut. Misalnya saja gedung teater Opera de Paris, atau Pantheon Sorbonne.Â
Ah, Ayah, cepatlah sembuh, sehingga suatu hari nanti kita bisa mengunjungi tempat itu lagi bersama-sama... ***