Mohon tunggu...
Dina Amalia (Kaka D)
Dina Amalia (Kaka D) Mohon Tunggu... Penulis, Bouquiniste

~ Best In Opinion Kompasiana Awards 2024 ~ Hidup dalam edisi khusus bekas + bekas | Kebanyakan buku, sesekali mlaku-mlaku | dno.dwriter@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Gairah Sejarah dan Berbahasa

21 September 2025   18:43 Diperbarui: 22 September 2025   17:33 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Koleksi Buku Bahasa Sunda di Daerah Cirebon)

Penulis: Dina Amalia (Kaka D)

Lagi banyak waktu untuk buku; membersihkan dan memasarkan koleksi yang tertinggal. Mata saya digoda oleh sebuah buku bertepi biru, sudah tua, tapi paras dan bodinya semakin menawan. Retro cokelat muda, wangi pula! Di sampul bertuliskan 'Bahasa Sunda di Daerah Cirebon' garapan Ayatrohaedi.

Membaca Cirebon, mengingat mudik. Di keluarga saya, Cirebon menjadi patokan pemberhentian dan kelegaan. Meninggalkan jejak kabar, selalu ditanya "sudah sampai di mana?" jika menjawab "sudah di Cirebon," pasti rasa lega merekah bagi keluarga. Seraya mengangguk, "oh alhamdulillah sudah di tengah-tengah," artinya tak lama lagi sampai.

Tapi, hanya sebatas kenal muka dan nama. Saya belum mengenal Cirebon lebih jauh. Kebetulan karya garapan Ayatrohaedi menggoda, ngajak berkenalan. Sombongnya saya kalau melewatkan momen apik begitu saja. Eh, tapi saya malu kalau sendirian, mari kita kenalan barengan!

Gairah Sejarah dan Berbahasa

Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Daftar Isi Buku Bahasa Sunda di Daerah Cirebon)
Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Daftar Isi Buku Bahasa Sunda di Daerah Cirebon)

Kasihan, buku yang sudah lama dibeli belum sempat disentuh. Padahal isinya lengkap dan cantik. Tebal 367, memuat bukan hanya soal kajian bahasa, melainkan juga: lintasan sejarah, keadaan alam, bahasan peta, teknologi dan talimarga, pendidikan, lapisan masyarakat, kelompok etnik penduduk, agama, kesenian dan kebudayaan, sampai persabdaprajaan dan lokabasa. Paripurna!

Koleksi saya ini, tercantum: Cetakan pertama - 1985. Juga tercantum: Disertasi Universitas Indonesia, tahun 1978. Diterbitkan oleh PN Balai Pustaka, termasuk dalam SERI ILDEP (Indonesian Linguistics Development Project) di bawah redaksi W.A.L. Stokhof.

Keadaan Bahasa di Daerah Cirebon

Saya lebih dulu memberi perhatian pada halaman tentang keadaan bahasa di Cirebon. Ada empat bahasa yang dijabarkan, yakni: Bahasa Jawa-Cirebon, Bahasa Sunda, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Asing. Secara rinci tertuang pada halaman 108-113 dan sedikit saya ringkas:

"Bahasa Jawa-Cirebon sudah berperan sebagai alat talimarga sehari-hari sejak pertengahan abad ke-15 Masehi. Dapat diperkirakan bahwa pengaruh Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Jawa-Cirebon mulai ada menjelang akhir abad ke-15.

Bahasa Jawa yang dipergunakan di Cirebon dianggap lebih memperhatikan ciri-ciri 'kuna', antara lain cara pengucapan dan akhiran yang berfungsi menyatakan bentuk transitif orang kedua, yang hanya dikenal dengan akhiran -aken dan tidak mengenal akhiran -ake.

Karena hubungannya yang amat dekat, Bahasa Sunda di daerah Cirebon tidak terhindar dari pengaruh Bahasa Jawa-Cirebon, yang umumnya terdapat di bidang fonologi dan kosakata."

Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Buku Bahasa Sunda di Daerah Cirebon hal 110)
Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Buku Bahasa Sunda di Daerah Cirebon hal 110)

Dalam bagian Bahasa Sunda juga diungkap, bahwa terdapat perbedaan kecil antara Bahasa Sunda Cirebon dengan Bahasa Sunda Lulugu, seperti adanya penghilangan bunyi, hingga penambahan kata. Misalnya, ada gejala menambah akhiran -na pada kata yang berakhir -na: bukuna jadi bukunana, artinya 'bukunya', ayona jadi ayonana, artinya 'sekarang'. Nah! Saya akhirnya tahu, sebab selama ini bertanya-tanya akan perbedaannya.

Peta Bahasa 

Mari belajar bahasa! Saya bertamu pada halaman terpanjang 'Peta-peta Mandiri' yang memberikan gambaran mengenai keadaan kebahasaan yang (agak) khas di daerah Cirebon.

Eh, mata saya langsung terpeleset pada poin 12 yang sedang menguliti kata BUHAYA 'buaya':

"buaya -- 01-04, 18, 78-9, 91.
budaya -- 05-14, 16-7, 19-20, 22-77, 80-90, 91, 92-4.

Kata buhaya pertama kalinya ditemukan pada prasasti Kebantenan 2 (abad ke-15), dan menunjuk kepada pejabat yang tugasnya memungut pajak di Pelabuhan. Apakah sebutan itu tidak disebabkan oleh adanya persamaan sifat antara buaya dengan pemungut pajak, yaitu keduanya suka 'memangsa' orang?"

Saya nyimak sambil makan, keselek bacanya. Nahloh! Keterangan berlanjut, "Mengingat bahwa di dalam naskah-naskah yang lebih muda tidak pernah lagi dikenal istilah buhaya yang menunjuk kepada jabatan itu, maka besar kemungkinannya bahwa buhaya prasasti Kebantenan 2 itu merupakan istilah yang lahir berdasarkan penyifatan seperti itu". Demikian rupanya, bermakna utama menunjuk kepada 'buaya'. Yah, padahal saya sudah sangat set....

Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Penjelasan Peta Bahasa - Buhaya)
Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Penjelasan Peta Bahasa - Buhaya)

Entahlah, kenal peta bahasa semakin bergairah mempelajarinya. Saya lanjut membaca hingga tertarik pada poin kata ke-65, kata CACAH 'rakyat':

"Di lingkungan masyarakat Cirebon, keluarga batih terbagi menjadi dua kelompok. (1) yang berdasarkan keturunan memiliki atau dipercaya menggarap tanah negara, disebut sikep. (2) ialah mereka yang tidak memiliki tanah negara itu, disebut cacah." Seru juga belajar bahasa! Buku dan padanan kosakata boleh saja dibilang tua, tapi tetap menjadi baru bagi saya.

Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Peta Bahasa)
Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Peta Bahasa)

Uniknya saat membaca peta bahasa ini, bukan hanya sekadar penjelasan berupa narasi saja. Melainkan, betul-betul ditampilkan 'peta' letak di mana bahasa itu bermula atau digunakan. Diarahkan langsung menggunakan kode seperti kalimat di atas (misal, buaya -- 01-04, 18, 78-9, 91). Jadi, amat detail dan pembaca tak kebingungan.

Cirebon sebagai Pusat Penyebaran Islam

Saya mengingat bahwa Cirebon dijuluki sebagai Kota Wali, maka saya lanjut mampir ke halaman 94-96 mengenai penyebaran Islam:

"Sekurang-kurangnya pada awal abad ke-16 Cirebon sudah berperan sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Sarif Hidayat berperan baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun pemimpin agama. 

Untuk pengajaran Islam itu, abad ke-16 di Cirebon didirikan mesjid yang lebih besar daripada Tajug Jalagrahan. Mesjid yang menurut Purwaka Caruban Nagari disebut Mesjid Ciptarasa didirikan pada tahun 1949.

Pusat pertama Islam di Jawa Barat terletak di Cirebon yang berbahasa Jawa, maka pada masa awal itu bahasa pengantar yang dipergunakan di pesantren-pesantren ialah Bahasa Jawa-Cirebon."

Beberapa fakta, boleh saja sudah saya dapat sebelumnya. Tapi, ketika membaca kembali sejarah yang tertuang dari penelitian dan tulisan 1978, rasanya menjadi ajek dan sempurna. Selayaknya potongan puzzle yang selama ini masih kurang lengkap dan akhirnya berhasil tersusun rapi, utuh.

Kelompok Etnik Penduduk Daerah Cirebon

Membaca sejarah lagi, membara! Dalam buku ini mengungkap bahwa terdapat empat kelompok etnik penduduk daerah Cirebon, yakni: Sunda, Jawa, Arab, dan Cina. Berikut saya kutip sedikit sejarahnya:

"Dari seluruh daerah Cirebon yang berjumlah 4.011.872 orang, diperkirakan dua pertiganya termasuk ke dalam kelompok etnik Sunda.

Kelompok etnik Jawa diperkirakan hampir sepertiga dari seluruh penduduk daerah Cirebon. Umumnya, mereka mendiami daerah dataran rendah di sebelah Utara dan Timur.

Kelompok etnik Arab hanya merupakan bagian kecil saja, tetapi karena mereka megang peranan yang cukup besar di bidang agama dan niaga, maka kehadiran mereka patut diperhitungkan.

Kelompok etnik kecil lainnya ialah Cina, yang pada umumnya hidup di bidang niaga."

Beberapa kali mengulang-membaca bagian etnik, selalu terngiang dengan 'bidang niaga'. Rupanya dalam buku ini terjabar lengkap, bahwa peranan Cirebon juga sebagai kota niaga yang sudah terlihat sejak abad ke-16, seperti beras dan berbagai jenis makanan lain, "kehidupan perniagaan di daerah Cirebon umumnya dikuasai oleh kelompok penduduk Cina."

Peta Gejala dan Unsur Bahasa

Tunggu, saya belum bisa move on dengan peta bahasa. Kosakata pada peta diwarnai dengan nama daerah, pelambang, dan kode yang jelas. Amat sempurna disajikan, betah dipandang! Tapi, juga sedikit bertanya-tanya, kenapa hanya kosakata tertentu yang dijabarkan + menggunakan peta?

Ayatrohaedi lantas menceritakan, bahwa gejala atau unsur bahasa yang menarik untuk dipetakan terbatas pada gejala atau unsur yang memperlihatkan adanya perbedaan berian di berbagai tempat penelitian. Perbedaan yang diperlihatkan dapat berupa perbedaan fonologis, morfologis, kosakata, ataupun sintaksis.

Supaya paham, Ayatroehadi sabar mendikte ulang sembari menunjuk peta. Dari peta 1, katanya, "panday 'pandai besi' misalnya, merupakan contoh dari sebaran yang memperlihatkan berian yang sangat luas daerah pakainya, yaitu pelambang panday dan berian lain yang terbatas di sejumlah kecil desa saja, yaitu pelambang pande. Pelambang pande dikenal di sejumlah desa sebelah utara (06, 14, 17-9, 78-9), sedangkan di daerah lainnya yang dikenal ialah pelambang panday."

Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Peta Bahasa dan Penjelasannya)
Sumber Foto: Dok. Pribadi / Dina Amalia (Peta Bahasa dan Penjelasannya)

Jika hanya dibaca memang tak akan mengerti, tapi akan paham bila dibarengi melihat peta dan petunjuknya. Begitu paham, rupanya betul-betul ketagihan membaca dan mencocokkannya. Lantas, saya pun rindu masa sekolah, sedikit mengeluh, kenapa dulu ngga seasyik ini ya pelajaran dan bukunya?

Sejarah dan Bahasa Tampil Bersahaja

Semula, saya hanya kenal muka dan nama 'Cirebon'. Juga tak mengerti pula Bahasa Sunda. Begitu membaca buku garapan Ayatroehaedi rasanya seperti diajak tamasya sepuasnya: keliling Cirebon, mendengar sejarahnya, dan belajar Bahasa Sunda.

Penggunaan bahasa di buku ini juga sederhana: tidak baku dekat dengan bahasa sehari-hari, jadi kalau baca seraya sedang ngobrol berdua-bercerita. Uniknya, tak bikin ngantuk, padahal topiknya cukup berat, 'sejarah' yang kalau dinikmati kadang suka terlanjur ketiduran.

Gimana mau ngantuk, kalau lagi baca penjelasan kosakata pasti Ayatrohaedi langsung mengajak mencocokkannya ke peta bahasa, supaya langsung tahu dari mana kata itu berasal dan digunakan, juga apa saja perbedaannya. Kalau tak mau mencocokkan? Yoo wes, ketinggalan, fifty-fifty ngertinya.

Tapi, buku ini betul-betul menuntun pembaca sampai bertemu titik terang dan mulus jalannya. Diberi rambu-rambu: tanda - singkatan - istilah, hingga mendikte kosakata dengan detail kode. Herannya tak bikin mumet. Keren!

Saya tak bertemu kerikil kebosanan, justru nambah gairah belajar, seraya sejarah dan kosakata apalagi yang akan saya temui di halaman berikutnya?

Betul-betul Apik! Selaras tujuan yang dipersembahkan Ayatrohaedi, "saya menyerahkan tulisan sederhana ini kepada masyarakat, dengan harapan akan ada juga manfaatnya walau betapa pun kecilnya," saya menyebutnya Sastrawan dan karya yang tampil bersahaja. Buat mata betah bacanya.

Terima kasih sudah membaca ulasan ini. Salam sehat dan bahagia selalu yaa untuk dirimu yang lagi membaca. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun