Mohon tunggu...
Dimas Saputra
Dimas Saputra Mohon Tunggu... -

a simple man with a simple lough

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Batu Kecil dan Pemancing Cilik

15 Agustus 2010   20:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Suasana tepian sungai cukup lenggang siang itu. Si batu kecil sedang terdiam ditempatnya berada. Berpikir soal berbagai kemungkinan hadirnya teman dalam hidupnya. Bagaimana tidak, si batu kecil adalah satu-satunya batu dengan ukuran kecil yang hidup ditepian sebuah sungai diantara puluhan batu dengan ukuran yang jauh lebih besar darinya. Hampir setiap hari atau bahkan setiap saat si batu kecil diejek oleh batu-batu besar lainnya. Dia, si batu kecil, di ejek karena ukurannya kecil dan semua batu besar dengan angkuhnya selalu menyombong soal ukuran dan kekuatan.

Dalam sebuah perenungan si batu kecil bertanya “apa didunia ini hanya ada satu buah batu kecil, dan itu aku?” pikiran ini selalu membayanginya setiap waktu. Pikiran inipun menjadi momok setiap kali dia mendapati bahwa ukurannya berbeda dengan batu-batu disekelilingnya. “hei mungil” sapa sebuah batu besar didekatnya. Si batu kecil diam saja karena penggilan “mungil” begitu menyiksa batinnya. “sudahkah kamu mendapat teman yang menanggapi keberadaanmu dengan ukuranmu yang tidak wajar?” lanjut si batu besar. Si batu kecil hanya terdiam dan tidak bergeming, kemudian dia berkata pelan “bedebah”. Kata “bedebah” itu tampaknya didengar oleh batu-batu besar disekelilingnya, mereka naik pitam dan ini adalah kali pertama si batu kecil melontarkan kata menantang. Setelah itu, habis si batu kecil di ejek habis sampai air matanya mengendap, bukan karena ingin menangis tapi menahan marah.

Batu-batu besar belum berhenti menyombongkan diri soal ukuran dan kekuatan. Bahkan beberapa kalimat diucapkan berulang-ulang setiap 10 atau 11 kalimat. Mungkin untuk mempertegas atau membuat si batu kecil makin merasa pilu dan terpahat dalam hati dan pikirnnya soal ukuran dan kekuatan. Tapi tidak, saat itu si batu kecil tidak berpikir soal ukuran dan kekuatan, dia hanya berpikir soal teman. Dia pikir, teman apapun itu, adalah yang paling dibutuhkannya saat itu. Tidak harus batu, apapun, siapapun yang mau berteman dengannya adalah sesuatu yang selalu dia tunggu.

Tiba-tiba terdengar suara anak-anak yang sedang bersenda gurau setelah itu batu-batu besar bergeming dan berhenti mengejek batu kecil. Si batu kecil memasang telinga dan berkosentrasi penuh untuk mendengarkan suara anak-anak yang sepertinya sedang berjalan ketempat dimana dia berada. Mendengar suara anak-anak itu tiba-tiba dia girang karena berpikir bakal dapat teman. Endapan air matanya hilang, dan dia begitu bersemangat. Sebuah energi positif pertama yang dia keluarkan siang itu. Si batu kecil masih berusaha menerka jarak anak-anak itu lewat suara yang di dengar. “sebentar lagi” bisiknya “sebentar lagi mereka akan sampai disini dan aku punya teman” katanya kegirangan. Mendengar itu batu-batu besar hanya diam dan kemudian mulai tertawa bersama dan berkata “taruhan, mereka tidak memilihmu”.

Tiga anak kecil berjalan ringan kearah tepian sungai, tempat dimana batu kecil berada. Mereka berjalan sambil tertawa dan bersenda gurau. Wajah-wajah seperti malaikat kecil dengan pancingan di tangan. “ah, mereka pemancing” si batu kecil berkata pada dirinya sendiri. Empat meter, tiga meter, dua meter, dan sekarang tiga anak kecil itu berdiri tepat dimana batu kecil berada. Para pemancing cilik itu tampaknya sedang memandang sekeliling dan mencari wilayah yang potensial untuk mendapatkan ikan. Melihat pemancing cilik tepat didekatnya si batu kecil mulai berteriak-teriak untuk memangil mereka, dia berkata “hei kalian pemancing cilik, maukah jadi temanku. Hei, jadilah temanku nanti akan ku tunjukan tempat dimana ikan-ikan berkumpul” iya berteriak sambil setengah melompat. Melihat perilaku si batu kecil seluruh batu besar tertawa terbahak-bahak dan mereka mengatakan bahwa percuma si batu kecil berteriak-teriak karena pemancing-pemancing cilik itu tidak akan mendengar, dan kalaupun mendengar belum tentu mau menanggapi batu kecil itu. Namun si batu kecil tidak kenal kata menyerah. Dia terus berusaha, karena di pikir ini kesempatan langka dan harus dimanfaatkan. Batu-batu besar masih tertawa terbahak, suara mereka menenggelamkan teriakan batu kecil yang memanggil-manggil ketiga pemancing cilik.

Terkejut, si batu kecil terkejut karena ketiga anak kecil itu berjalan perlahan menjauhinya. Mereka mendekati berkumpulnya batu-batu besar. Kemudian pemancing cilik itu meletakan alat pancing dan bekal makan siang mereka disebuah batu kemudian dua dari mereka menyenyakan diri dengan duduk di batu besar sambil menyiapkan alat pancing mereka. “lihatlah mungil, mereka pilih kami, si besar” kata seorang batu besar. Wajah si batu kecil merah padam sambil menahan geram. Dia nyaris putus asa, dan mendapati bahwa memang dirinya tidak layak mendapatkan teman dalam bentuk apapun.

Genggaman erat melekat dalam tubuh si batu kecil. Tubunya terangkat ke udara. Sambil menangis dia mendapati dirinya berada dalam genggaman salah satu dari pemancing cilik itu. Senang, bahagia, tertawa, itulah perasaan yang dirasakan oleh sibatu kecil. “Yiiiipppiiieeee” dia berteriak penuh rasa girang “aku dapat teman” katanya. Dia ia pun berteriak-teriak kearah baru besar dan berkata “hei kalian batu besar dungu, lihatlah aku menang taruhan. Dia, pemancing cilik ini, meraihku, meletakkanku pada genggamannya. Aku dijadikan temannya” si batu kecil meneriakkan kalimat ini berulang-ulang dengan penuh percaya diri.

Pemancing cilik menggenggam batu cilik sambil duduk disebuah batu besar sementara batu kecil menyenyakan diri dalam hangatnya genggaman pemancing cilik. Kemudian batu kecil merasakan tubuhnya melayang keudara lalu mendarat di telapak tangan pemancing cilik. Lagi, tubuhnya kembali melayang dan mendarat. Si batu kecil berpikir bahwa sepertinya pemancing cilik sedang bermain-main dengannya. Pada kali ke tujuh dia melayang dan mendarat kembali di telapak tangan pemancing cilik itu dia tidak merasakan tubuhnya melayang lagi. Tampaknya pemancing cilik sudah tidak mau bermain melayang dan mendarat lagi dan si batu kecil kembali menyenyakan diri di hangatnya telapak tangan pemancing cilik sambil memandangi wajah malaikatnya. Ada kejanggalan dalam wajah malaikatnya. Wajahnya begitu serius, matanya memandangi si batu kecil dan kemudian memandang ke arah sungai. Kemudian pemancing cilik berdiri dan memasang posisi. “ah ada apa ini” pikir si batu kecil dan perasaannya tidak enak.

Si batu kecil merasakan tubuhnya melayang sekali lagi, ini kali kedelapan dia melayang. Tapi, dia tak jua merasakan tubuhnya mendarat dan justru dia melihat bahwa dia terbang menjauhi pemancing cilik itu. Tidak, bukan terbang tapi dilempar. Si batu kecil baru saja sadar bahwa pemancing cilik itu melemparnya kearah sungai. ‘pluk’..’pluk’..’pluk’.. si batu kecil merasakan tubuhnya memantul-mantul dia permukaan air sungai. Pada pantulan keempat dia merasakan dirinya tenggelam. Dia tenggelam ke dalam sungai yang dingin. Awalnya dia masih dapat melihat cahaya matahari yang menerobos permukaan sungai, namun lama kelamaan dia mendapati sekelilingnya makin gelap dan makin gelap. Dia tenggelam dalam kegelapan sekali lagi. Saat itu sendiri adalah momok yang menguasai pikirannya dan sepersekian detik si batu kecil merasakan rindu pada ejekkan batu-batu besar.

Si batu kecil merasakan tubuhnya mendarat di permukaan keras yang kemudian dia sadari dia sudah berada di dasar sungai yang gelap. Si batu kecil menangis, kali ini bukan karena menahan marah tapi pilu dan menuntut keadilan dari Sang Pencipta. “pendatang baru, pendatang baru, dia baru jatuh tadi” si batu kecil mendengar bisikan-bisikan disekelingnya. Bisikan-bisikan riuh diikuti bunyi benturan benda keras yang berdesakkan. Bisikan itu makin riuh terdengar dan si batu kecil mencoba memandang sekeliling. Dalam kegelapan permukaan sungai dia masih bisa melihat dengan agak samar sekelilingnya dan ahaiii. Belasan, bukan puluhan batu kecil mengelilinginya sambil memandangnya dengan senyum merekah ramah. Pikirannya berputar cepat dan menemukan alasan mengapa hanya dia satu-satunya batu kecil di tepi sungai dan dia yakin pasti batu-batu kecil yang mengelilinginya pernah merasakan bagaimana rasanya terbang, bukan tapi terlempar.

Dengan bisik kecil, si batu kecil berkata pelan “bedebah, aku punya teman

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun