Indonesia adalah negeri dengan ribuan budaya lokal yang berbaur harmonis dengan ajaran agama. Salah satu bukti nyata dari akulturasi tersebut adalah tradisi Ampyang Maulid di Kudus, Jawa Tengah. Tradisi ini tidak hanya menjadi cara masyarakat merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat diinternalisasi dalam bentuk budaya lokal yang khas dan penuh makna.
Ampyang Maulid berasal dari Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-16 Masehi, saat dakwah Islam dilakukan secara kultural oleh tokoh-tokoh seperti Sunan Kudus dan Sultan Hadirin. Nama "ampyang" merujuk pada sejenis kerupuk bulat berwarna-warni yang menjadi salah satu simbol dalam ritual ini. Sementara itu, "maulid" adalah istilah Arab yang berarti kelahiran, merujuk pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Rangkaian acara Ampyang Maulid dimulai dengan persiapan nasi kepal (dibungkus daun jati), ampyang, dan aneka hasil bumi. Semua bahan tersebut disusun dalam wadah anyaman bambu membentuk gunungan besar. Gunungan ini kemudian diarak keliling desa dalam sebuah kirab budaya yang meriah. Setelah kirab, gunungan dibawa ke masjid untuk didoakan, lalu dibagikan kepada warga dan anak-anak sebagai bentuk sedekah dan kebersamaan.
Tradisi ini bukan semata-mata ritual tanpa makna. Dalam esensinya, Ampyang Maulid adalah media dakwah. Sebagaimana dijelaskan oleh Umah (2023) dalam penelitiannya di IAIN Kudus, tradisi ini memiliki muatan dakwah yang kuat: mengajarkan nilai syukur, kebersamaan, dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Proses gotong royong masyarakat dalam mempersiapkan acara ini mencerminkan semangat ukhuwah Islamiyah yang kental. Tidak ada sekat antara yang kaya dan miskin; semua bersatu dalam semangat peringatan Maulid.
Lebih jauh, Ampyang Maulid juga menunjukkan bentuk akulturasi budaya yang positif. Menurut Suriadi (2021) dalam Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, tradisi keislaman di Nusantara berkembang melalui pendekatan kultural, bukan dengan menghapus budaya lokal, tetapi justru mengislamisasinya. Ampyang dan nasi kepal adalah simbol-simbol lokal yang diadopsi dalam bingkai Islam. Inilah strategi dakwah khas Nusantara yang damai dan kontekstual.
Namun, seperti banyak tradisi lokal lainnya, Ampyang Maulid tidak lepas dari tantangan. Modernisasi dan globalisasi sedikit banyak memengaruhi minat generasi muda terhadap tradisi ini. Beberapa pemuda lebih tertarik pada budaya populer dibanding ritual keagamaan yang dianggap "kuno". Di sisi lain, urbanisasi dan perubahan gaya hidup juga membuat gotong royong yang menjadi ruh utama tradisi ini mulai berkurang.
Meski demikian, berbagai upaya pelestarian terus dilakukan. Pemerintah daerah, tokoh agama, serta kelompok sadar wisata aktif mempromosikan Ampyang Maulid sebagai warisan budaya tak benda yang patut dilestarikan. Tradisi ini juga mulai dikemas dalam bentuk atraksi wisata religi yang melibatkan UMKM dan seni lokal, sehingga memperkuat identitas budaya sekaligus memberi manfaat ekonomi.
Ampyang Maulid adalah cermin dari kearifan lokal masyarakat Kudus dalam memadukan agama dan budaya. Tradisi ini mengajarkan bahwa merayakan Maulid Nabi tidak harus selalu dengan cara konvensional, melainkan bisa dikemas dalam bentuk yang membumi, meriah, dan tetap bermakna. Dari Kudus, Ampyang Maulid layak menjadi inspirasi bagi Indonesia: bahwa dakwah bisa berjalan seiring dengan pelestarian budaya, dan bahwa mencintai Nabi juga berarti mencintai sesama dan menghargai tradisi.
REFERENSI:
- Umah, A. F. (2023). Muatan Dakwah dalam Tradisi Ampyang Maulid di Desa Loram Kulon Kecamatan Jati Kabupaten Kudus. IAIN Kudus Repository.
- Suriadi, A. (2021). Akulturasi Budaya dalam Tradisi Maulid Nabi Muhammad di Nusantara. Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI