Mohon tunggu...
Dimas Syaiful Amry
Dimas Syaiful Amry Mohon Tunggu... Konsultan Pendidikan Alternatif

Pengasuh di Sanggar Perdikan, sebuah wadah belajar bersama pada pendidikan, pengasuhan, dan pemberdayaan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menengok Indonesia Hari Ini

11 Agustus 2025   07:25 Diperbarui: 11 Agustus 2025   07:25 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika kita melihat Indonesia hari ini, mari kita tertawakan Indonesia.

Terdengar aneh? Memang. Tapi tawa yang saya maksud bukan tawa kosong yang mematikan rasa, melainkan tawa yang membuka mata. Tawa yang memotret kebodohan kita sendiri, lalu membingkainya agar semua bisa melihat dengan jelas.

Kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena kalau terlalu serius memikirkannya, mungkin kepala ini pecah, atau hati ini remuk. Indonesia adalah panggung besar yang aktornya kita semua, dengan skrip yang entah siapa yang menulis, dan plot twist yang sering kali membuat kita hanya bisa geleng-geleng kepala.

Lihatlah: jalan berlubang yang bertahan lebih lama dari masa jabatan pejabatnya. Birokrasi yang bisa mengubah urusan dua menit menjadi dua minggu. Janji kampanye yang menguap seperti embun pagi, sementara rakyat sibuk mengadu nasib lewat kupon undian atau kuis televisi. Dan di sela-sela semua itu, kita diajak "bahagia" --- dengan joget massal, karnaval warna-warni, atau dentuman soundsystem sampai subuh, seakan-akan getaran bass bisa mengguncang keluar semua masalah dari tubuh bangsa.

Lucunya, sering kali kita ikut-ikutan. Kita ikut menutup mata dengan alasan "yang penting senang dulu," atau "hidup ini sudah susah, jangan dipikir berat-berat." Kita lupa, rasa senang yang dicetak pabrik hiburan itu seperti gula buatan: manis sesaat, tapi membuat tubuh---dan negara---semakin sakit pelan-pelan.

Mungkin, yang perlu kita lakukan bukan berhenti tertawa, tapi mengubah cara kita menertawakan. Menertawakan ironi negeri ini sebagai cara untuk menelanjangi kebodohan yang kita pelihara bersama. Menertawakan bukan untuk melupakan, melainkan untuk mengingat. Karena kalau kita bisa menertawakan keganjilan ini sambil menunjuk tepat di mana sumber penyakitnya, kita tak lagi butuh joget-joget untuk menutupi luka, atau dentuman musik untuk membungkam nurani. Kita akan duduk, menatap satu sama lain, lalu berkata: "Oke, cukup bercandanya. Mari kita perbaiki."

Bangsa yang butuh hiburan terus-menerus adalah bangsa yang hidupnya tertekan. Ia seperti orang yang tak sanggup menatap cermin terlalu lama, karena di sana wajah lelahnya menatap balik dengan mata yang tahu terlalu banyak. Hiburan menjadi tirai tipis untuk menutupi pandangan itu, agar kita tak harus berhadapan dengan kenyataan yang pahit dan pertanyaan yang menyesakkan: Mengapa kita masih begini-begini saja?

Kita menari di jalanan bukan semata-mata karena cinta budaya, tapi kadang untuk melupakan bahwa harga beras naik, listrik naik, dan harapan turun. Kita berteriak-teriak di konser, bukan hanya karena musiknya enak, tapi karena itu satu-satunya tempat kita bisa melampiaskan emosi tanpa ditangkap polisi. Kita tertawa di depan acara komedi murahan, bukan karena leluconnya brilian, tapi karena di luar sana berita-berita membuat dada kita sesak.

Dan para penguasa tahu betul---bahwa rakyat yang lelah dan tertekan akan lebih mudah diarahkan jika pikirannya terus dialihkan. Beri saja karnaval, pesta rakyat, diskon belanja, atau lomba-lomba absurd; maka pembicaraan tentang korupsi, kebijakan ngawur, dan janji-janji kosong akan menguap seperti asap sate di malam festival.

Tapi tekanan yang disembunyikan dengan hiburan tidak pernah hilang. Ia hanya menumpuk di sudut hati, menunggu saatnya meledak. Dan saat itu tiba, kita sadar bahwa tawa palsu yang kita rawat bukanlah obat, melainkan racun pelan-pelan.

Bangsa yang sehat bukan bangsa yang terus mencari pelarian. Bangsa yang sehat adalah bangsa yang bisa tertawa dan berpikir jernih di waktu yang sama; yang bisa bergembira tanpa harus menutup mata pada masalah; yang bisa merayakan kehidupan sembari bekerja keras memperbaikinya. Kalau kita terus menjadi bangsa yang butuh hiburan untuk bertahan, kita akan selamanya menjadi penonton dalam panggung negara kita sendiri---sementara naskahnya ditulis oleh orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun