Tapi menjadi orang tua atau pendidik tak cukup berhenti pada empati individual. Kita perlu zoom out---mengambil jarak untuk membaca struktur masyarakat dan pola peradaban tempat anak bertumbuh.
Kita harus melihat ekosistem keluarga dan komunitasnya, adakah ia tumbuh dalam relasi yang sehat?
Kita harus mengerti narasi budaya digital yang mengitarinya: algoritma, konten viral, tekanan eksistensial dari media sosial, dan kehadiran layar yang mengatur atensi.
Kita mesti berpikir dalam kerangka antropologi: nilai apa yang diwariskan, mitos apa yang sedang membentuk logika berpikirnya, bagaimana kelas sosial membatasi atau membentuk peluang-peluangnya.
Kita bahkan perlu masuk ke peta sosiologis dan geopolitik, karena pendidikan dan pengasuhan tak pernah lepas dari struktur kekuasaan dan arus ekonomi global.
Kesadaran Holistik: Menggabungkan Mikroskop dan Teleskop
Maka, menjadi orang tua atau guru di zaman ini adalah seperti menjadi peneliti kehidupan:
Dengan mikroskop pengasuhan, kita membaca hormon, pola tidur, dan keunikan pemrosesan kognitif anak.
Dengan teleskop pengasuhan, kita membaca bagaimana budaya menanamkan nilai, bagaimana sekolah membentuk pola pikir massa, bagaimana arah ekonomi global memengaruhi mental kolektif generasi.
Dan di antara dua alat itu, kita butuh hati yang jernih, agar tidak kehilangan arah.
"Karena anak bukanlah halaman kosong yang siap diisi, melainkan jiwa hidup yang perlu dipahami dari partikel terkecil hingga langit makna paling luas."