Mohon tunggu...
Dimas Syaiful Amry
Dimas Syaiful Amry Mohon Tunggu... Konsultan Pendidikan Alternatif

Pengasuh di Sanggar Perdikan, sebuah wadah belajar bersama pada pendidikan, pengasuhan, dan pemberdayaan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Manusia sebagai Animal Rationale: Di Antara Insting dan Kesadaran Akal

25 Mei 2025   05:57 Diperbarui: 25 Mei 2025   05:58 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam banyak sudut kehidupan bangsa ini, hukum rimba seakan menjadi aturan tak tertulis: siapa yang kuat, dialah yang menang. Yang kaya membeli kebenaran, yang berkuasa mengatur hukum semaunya, yang lemah hanya bisa pasrah. Di pasar, di jalanan, di ruang politik, hingga media sosial---yang bersuara lantang menindas yang sunyi, yang bersenjata merampas hak yang tak bersenjata. Kita telah hidup dalam peradaban yang begitu ramai, namun kehilangan nurani.

Ironisnya, ketika kita menyebut "hukum rimba", seolah itu mencerminkan kekacauan, kebrutalan, dan kekejaman. Padahal, rimba yang sesungguhnya tak pernah kehilangan keseimbangan. Dalam hutan, seekor harimau hanya membunuh ketika lapar, bukan serakah. Serigala berburu dalam kawanan, bukan saling menjatuhkan. Bahkan predator pun memiliki aturan yang menjaga populasi dan ekosistem. Tidak ada yang merampas lebih dari kebutuhannya, tidak ada yang menimbun di tengah kelaparan yang lain.

Bandingkan dengan sebagian manusia modern: merampok uang negara yang harusnya untuk rakyat lapar, menimbun tanah demi keuntungan sementara petani tak punya lahan. Membeli kursi kekuasaan, memanipulasi suara rakyat, dan menjual masa depan demi ambisi pribadi. Di sini kita menyaksikan tragedi: ketika manusia kehilangan kesadaran moralnya, ia jatuh ke titik lebih rendah daripada binatang.

Semut tidak akan mengkhianati koloninya, tetapi manusia bisa mengkhianati bangsanya sendiri. Lebah tak akan meracuni madunya, tapi manusia mencemari alam yang memberinya kehidupan. Serigala tidak membunuh sesamanya untuk rebutan jabatan, tapi manusia melakukannya dengan senyum diplomatis.

Di tengah semua ini, kita harus bertanya: apa arti menjadi manusia jika kehilangan akal sehat dan hati nurani? Apakah gelar, harta, dan kekuasaan cukup membuat kita mulia, jika dalam batin kita berlaku lebih liar dari hutan yang kita anggap buas?

Barangkali sudah saatnya kita belajar kembali dari binatang---bukan untuk menjadi liar, tapi untuk menjadi lebih beradab. Untuk tahu kapan harus berhenti, bagaimana menjaga peran, dan mengerti bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling sadar akan tanggung jawabnya terhadap yang lain.

Karena ketika binatang menjadi cermin moral yang lebih jernih dari manusia, maka bukan rimba yang menjadi masalah, tapi manusia yang tak lagi beradab.

Sejak zaman klasik, filsuf-filsuf besar seperti Aristoteles dan al-Farabi menyebut manusia sebagai animal rationale atau hayawan nathiq---makhluk hidup yang berpikir dan berbicara, yang membedakannya dari makhluk lain. Sebutan ini bukan semata-mata gelar biologis, tetapi pengakuan akan kodrat manusia yang unik: hidup dalam tubuh yang sama dengan binatang, namun memiliki kecakapan untuk menimbang, menilai, dan memilih berdasarkan akal.

Sebagai hayawan (hewan), manusia mewarisi naluri-naluri dasar: makan, tidur, berkembang biak, bertahan hidup. Tetapi sebagai nathiq---yang berpikir dan mampu berkata-kata---manusia diberkahi kesanggupan untuk melampaui naluri tersebut, mentransendensikan dirinya, dan membangun makna dalam hidup. Di sinilah letak eksistensi manusia: bukan hanya bertahan hidup, tetapi merumuskan bagaimana seharusnya hidup dijalani.

Namun kenyataan menunjukkan bahwa akal tidak selalu digunakan untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Dalam sejarah dan keseharian, kita saksikan bagaimana akal dapat dimanipulasi oleh ambisi, dikaburkan oleh nafsu, dan dijadikan alat untuk dominasi. Ketika manusia kehilangan arah pemikiran dan kedalaman perenungannya, ia tak lagi hidup sebagai animal rationale, tetapi jatuh menjadi hewan yang berpikir hanya untuk memperkuat nafsunya. Maka, tidak berlebihan jika para filsuf moral menyatakan: yang paling berbahaya bukan binatang buas, melainkan manusia yang kehilangan akal sehatnya.

Sebagai hayawan nathiq, manusia dipanggil untuk menyeimbangkan dorongan-dorongan instingtifnya dengan panduan akal budi dan nilai-nilai luhur. Ia harus memimpin dirinya sebelum memimpin orang lain. Dan kepemimpinan atas diri ini dimulai dari kejujuran dalam berpikir, keberanian untuk menilai, dan kerendahan hati untuk belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun