Sebelum ini saya menulis artikel berjudul "Pentingnya Edukasi Film Guna Menciptakan Ekosistem Perfilman dari Hulu".Â
Dalam tulisan tersebut, saya menggunakan istilah "hulu" untuk menyebut aspek edukasi film: literasi penonton, pelatihan kreator, pengenalan sinema sejak usia dini, hingga kurikulum sekolah terkait apresiasi film.Â
Tanpa fondasi edukasi yang kuat sebagai hulu, mustahil lahir karya-karya film yang berkualitas. Pencipta, penonton, dan ekosistem hanya bisa tumbuh jika ada kesadaran dan kapasitas yang dibentuk lebih dahulu.
Secara umum, istilah hulu dalam rantai perfilman biasanya dipahami sebagai pra-produksi dan produksi, sedangkan hilirisasi diposisikan sebagai distribusi dan produk turunan.Â
Namun, dalam artikel ini saya tetap mempertahankan istilah saya: edukasi adalah hulu, sedangkan hilirisasi adalah bagaimana karya film memasuki kehidupan sosial-ekonomi lewat distribusi, monetisasi, dan diversifikasi.
Asta Cita dan Peluang Industri Kreatif
Asta Cita, delapan aspirasi pembangunan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, menjadi kerangka besar bagi arah pembangunan lima tahun ke depan.Â
Meski tidak spesifik membahas perfilman, ada beberapa poin relevan untuk ekosistem budaya dan industri kreatif, seperti peningkatan kapasitas SDM, penguatan infrastruktur, serta dorongan pada produktivitas dan hilirisasi sektor strategis.
Dalam konteks ini, industri kreatif termasuk perfilman bisa disejajarkan dengan sektor lain yang didorong untuk hilirisasi.Â
Apalagi pembangunan infrastruktur digital dan jaringan internet, yang menjadi salah satu agenda Asta Cita, sangat terkait dengan distribusi film di era streaming.Â
Artinya, ada peluang besar bagi perfilman lokal untuk masuk dalam kerangka kebijakan nasional, terutama dalam aspek distribusi dan penguatan ekosistem.
Hilirisasi Perfilman: Lebih dari Sekadar Putar di Bioskop
Hilirisasi perfilman tidak boleh dipahami sebatas film diputar di bioskop. Lebih luas dari itu, hilirisasi mencakup:
Distribusi & eksibisi (bioskop, streaming, festival, pemutaran komunitas).
Produk turunan (serial, komik, novelisasi, merchandise, game, OST).
Lisensi & kemitraan (hak tayang internasional, kolaborasi brand, iklan).
Pariwisata & budaya (film tourism, set film sebagai destinasi).
Monetisasi digital (konten media sosial, crowdfunding, NFT).
Penunjang ekosistem (insentif, perlindungan hak cipta, platform distribusi lokal).
Dari semua aspek ini, distribusi lokal dan digital menjadi kunci agar karya film dapat menjangkau penonton secara merata.
LokalFilm.id: Distribusi Lokal sebagai Wadah Hilirisasi
Salah satu contoh konkret hilirisasi distribusi di Indonesia adalah LokalFilm.id, sebuah platform streaming film pendek karya anak bangsa.Â
Fokus utama mereka adalah memberikan ruang bagi film-film pendek dari berbagai daerah, yang sering kali tidak mendapat kesempatan tayang di jaringan bioskop besar.
Kelebihan LokalFilm antara lain:
Fokus pada karya lokal & pendek: memberi panggung bagi sineas dari daerah.
Akses digital: bisa menjangkau penonton nasional tanpa batas geografis.
Pendekatan komunitas: menghadirkan forum diskusi dan promosi seputar film lokal.
Peluang monetisasi: walaupun masih berkembang, platform ini membuka ruang eksposur dan kemungkinan pendapatan bagi kreator.
Tantangan yang dihadapi tentu tidak kecil, mulai dari infrastruktur internet di daerah, literasi digital penonton, hingga model bisnis yang berkelanjutan.Â
Namun, kehadiran LokalFilm adalah bukti nyata bahwa distribusi lokal bisa dilakukan secara mandiri dan berbasis komunitas.
Menyatukan Hulu, Hilir, dan Kebijakan
Agar hilirisasi perfilman tidak berjalan sporadis, perlu integrasi dengan kebijakan nasional. Beberapa langkah yang relevan antara lain:
Insentif distribusi lokal melalui hibah, subsidi, atau pajak yang mendukung platform distribusi film lokal.
Pendidikan film di sekolah agar literasi film sebagai hulu terus berjalan.
Kemitraan pemerintah-swasta-komunitas dalam pendanaan dan distribusi.
Penguatan infrastruktur digital untuk memastikan distribusi merata.
Evaluasi dampak sosial-ekonomi agar kebijakan tidak berhenti di jargon.
Semua ini sejalan dengan semangat Asta Cita yang mendorong pembangunan inklusif dan berkeadilan.
Edukasi film sebagai hulu adalah pondasi. Tanpa edukasi, tidak ada karya yang lahir. Tetapi karya tanpa hilirisasi juga tidak akan hidup lama.Â
Hilirisasi adalah jalan agar film dapat menjangkau penonton, menghadirkan nilai ekonomi, sekaligus memperkaya budaya bangsa.
LokalFilm.id menunjukkan langkah nyata bahwa distribusi film lokal bisa dilakukan secara digital dan berbasis komunitas.Â
Jika kebijakan Asta Cita dapat memberikan ruang dan dukungan pada inisiatif semacam ini, maka ekosistem perfilman Indonesia akan semakin kuat, dari hulu hingga hilir.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI