Dalam kesempatan tersebut, Nita menekankan bahwa generasi muda Indonesia memiliki potensi besar di bidang film dan industri kreatif.Â
Namun, potensi itu tidak akan berkembang tanpa bekal yang tepat. Program kursus menjadi jalan agar mereka mendapat pendidikan profesional, terarah, sekaligus membuka peluang karier nyata di industri.
Sementara itu, Budi Sumarno, praktisi film sekaligus penulis buku Cinema Therapy, menyatakan bahwa kerja sama lintas lembaga adalah langkah penting untuk memperkuat ekosistem perfilman nasional.Â
Menurutnya, kolaborasi ini bukan sekadar soal membuka kelas, melainkan gerakan bersama untuk menyiapkan sineas muda yang kompeten, kreatif, dan siap bersaing di tingkat global.
Kursus yang ditawarkan pun cukup beragam: mulai dari film profesional, film dokumenter, short movie, film anak, seni peran, hingga penulisan skenario.Â
Semua diajarkan langsung oleh praktisi dan akademisi yang berpengalaman di industri. Yang menarik, seluruh program ini juga terbuka bagi penyandang disabilitas, menegaskan komitmen membangun perfilman yang inklusif dan berkeadilan.
Ke depan, program ini akan diperluas ke bentuk festival film pelajar, laboratorium riset film inklusif, hingga jejaring dengan komunitas seni internasional.Â
Langkah ini diharapkan memberi dampak nyata tidak hanya pada para peserta kursus, tetapi juga pada kemajuan ekosistem perfilman dan audiovisual di Indonesia.
Film selalu menjadi cerminan zaman. Bila generasi muda mendapat kesempatan belajar dengan benar, film dapat berfungsi sebagai sokoguru perubahan bangsa.Â
Ia tidak hanya hadir untuk menghibur, tetapi juga mendidik, menginspirasi, serta membuka ruang dialog kritis di tengah masyarakat.
Bahkan ditegaskan oleh Budi di dalam bukunya, bahwa film mampu menimbulkan efek terapi bagi penontonnya. Juga tentu terkait dengan perubahan perilaku akibat pengaruh film tersebut.