Tanpa disadari, ayam broiler kini sudah menjadi konsumsi tetap kita, baik diolah sendiri maupun lewat makanan cepat saji di restoran.
Dan jika melihat proses ayam broiler terbentuk, tiba-tiba ada lintasan pikiran seperti ini dalam otak saya, "Cepat itu baik, tapi terlalu cepat bisa berbahaya."
Ungkapan ini terasa tepat saat kita menilik fenomena ayam broiler, ayam pedaging hasil rekayasa genetika yang tumbuh dalam waktu kurang dari dua bulan.
Ayam broiler bukan sekadar bahan baku makanan cepat saji. Di balik tubuhnya yang besar dalam waktu singkat, tersembunyi catatan panjang tentang upaya manusia mempercepat sesuatu dengan mengabaikan keseimbangan alamiah.
Artikel ini tidak bermaksud menggugat industri peternakan. Justru sebaliknya, kita diajak untuk mengambil hikmah: bahwa setiap ikhtiar percepatan, entah dalam sains, bisnis, atau kehidupan, harus disertai pertimbangan jangka panjang.
Ayam Broiler: Hasil Ilmiah yang Efisien Sekaligus Berisiko
Ayam broiler modern adalah hasil seleksi genetik dan rekayasa pemuliaan selama puluhan tahun. Tujuannya: menciptakan ayam yang bisa mencapai bobot ideal dalam waktu secepat mungkin---rata-rata 35 hingga 49 hari.
Jika dibandingkan dengan ayam kampung atau ayam ras di masa lampau yang tumbuh 4--6 bulan, broiler jelas "luar biasa".
Namun, kecepatan itu datang dengan konsekuensi. Banyak penelitian internasional menunjukkan bahwa ayam broiler rentan mengalami gangguan tulang, gagal jantung, bahkan tidak mampu menopang berat tubuhnya sendiri.
Menurut laporan dari Guelph Poultry Research Center, ayam broiler lebih sering duduk karena tidak kuat berjalan, yang berujung pada luka kaki hingga otot rusak (wooden breast). Masalah ini bukan hanya etis, tapi juga merugikan industri karena daging menjadi keras dan sulit dijual.
Di Mana Letak Masalahnya?