Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Author, BNSP Certified Screenwriter, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mabuk Agama: Hijrah ke Dunia Antah Berantah yang Memimpikan Negara Agama

17 Juni 2025   08:23 Diperbarui: 17 Juni 2025   17:59 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sejak lama saya ingin menuliskan ini dan baru semalam terbersit ide membuat tulisan berseri tentang Mabuk Agama ini. Dan bagi saya, ini merupakan sebuah catatan perjalanan semata, bukan untuk menyerang ataupun melakukan provokasi kepada siapapun.

Lantas mengapa harus mabuk agama? apakah seseorang bisa mengalami kondisi demikian, bukankah bagus ketika tenggelam di dalam kehidupan beragama?

Saya tak ingin menggurui siapapun mengenai benar atau tidaknya, tapi silahkan nantinya kalian menilai sendiri entah hingga berapa seri saya akan menuliskannya, karena periode perjalanan saya dalam mabuk kepayang ini terjadi pada tahun 1996-2001.

Mabuk yang cukup lama bukan?

Dan semuanya itu terjadi di awali dari diri saya yang merasa kering serta tak mengerti sama sekali mengenai agama Islam, meski terlahir sebagai muslim, setidaknya itulah yang tercantum di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

24 tahun bukan waktu yang sebentar untuk terus melekatkan ingatan tentang apa yang terjadi ketika itu sehingga ketika ada satu dua hal yang tidak tepat, kiranya mohon dimaklumi saja, namun semuanya bukan berarti ingin mengada-ada.

Mari kita mulai ceritanya....

Semuanya di awali dari kondisi kekeringan agama di akhir Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sangat saya rasakan, apalagi ketika melihat fakta bahwa nilai Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) praktek agama saya mendapatkan nilai jeblok, 5. Tentu itu sangat menimbulkan kegelisahan.

Dan makin terasa ketika nenek saya meninggal di rumah, ingatan tersebut terus terbawa sampai ketika akhirnya lulus SMA serta hendak menentukan pilihan kuliah.

Maka kemudian di Kampus Universitas Persada Indonesia YAI aku mengenyam pendidikan dengan mengambil jurusan Psikologi, harapannya tentu ingin menjadi sarjana, spesifiknya, jadi psikolog. Sesuatu yang masih langka di kala itu.

Di kampus itulah awalnya saya mengendus aroma "alkohol cinta" yang kelak akan memabukkan, tepatnya lewat seorang dara cantik, yang kusebut saja nama aliasnya, Laila.

Ibarat kisah Laila Majenun, si Laila ini pun membuat saya jadi majenun alias tergila-gila. Love at the first sight, begitu katanya. Ia adalah teman satu grup ketika menjalani Penataran P4 yang wajib dilaksanakan sebelum Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) dilakukan.

Laila memang cantik dan pintar, sesuatu yang sepertinya memang layak diperjuangkan lah pokoknya. Apalagi ternyata kami satu jurusan bus, meski berbeda jurusan kampus karena ia menjadi mahasiswi jurusan Akuntansi.

Sebagai orang yang tidak mudah jatuh cinta, awalnya pun saya hanya menganggap biasa, hanya berani melihat dari jauh, meski sudah kenal, walaupun kami satu bus.

Hingga masa perkuliahan tiba, tanpa sedikitpun saya duga, tiba-tiba ia mengajak saya mengikuti sebuah pengajian.

"Agak unik nih cewek, cantik, terlihat cerdas, supel, sapaan pertamanya ngajak ngaji," ujar saya dalam hati.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, dan gayung bersambut, tak banyak berpikir, ajakannya saya ikuti. Dengan harapan, sekali mendayung dua tiga pulau capeknya nggak ketulungan, eh...bukan, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Menariknya, ia bilang bahwa ustaz nya masih muda, anak UI dan jamaahnya juga kebanyakan anak kuliahan.

Saya pun semakin tertarik, teringat ketika nenek meninggal, kakak sepupu saya memimpin tahlilan dan memberikan tausiyah dengan hafalan ayat yang membuat saya kagum. Karena bagi saya yang awam, selain ingin mendalami agama, ada secercah harapan agar pada suatu hari nanti saya bisa juga mengikuti jejak menjadi ustaz, setidaknya bisa banyak menyebutkan ayat sepertinya.

Dengan kemauan dan tekad bulat, saya memenuhi undangan Laila, dan sedikit heran ketika ternyata pengajian tidak dilakukan di masjid. Namun kami berkunjung ke rumah si ustaz yang masih bujang dan tinggal bersama orang tuanya.

Tak apalah, karena tempat mengajinya lumayan representatif, di sebuah paviliun rumah orang tuanya yang besar di daerah Rempoa, Jakarta Selatan.

Agak terkejut pula ketika kajian terasa begitu menarik dan luar biasa sehingga tak terasa perjumpaan kami sampai magrib. Hampir selama kajian, tak ada protes, saya bertindak sebagai gelas kosong karena pada hakikatnya memang kosong betulan.

Namun, ada sedikit perdebatan, tapi bukan dengan saya, meski saya bingung juga. Kenapa di akhir materi kami seolah dipaksa untuk berhijrah dari NKRI ke Negara Karunia Allah, dimana pula itu negara? Yang lebih mengherankan lagi ketika kami dimintai sedekah yang tidak sedikit.

Dengan menggunakan dalil dari Al Quran Surat At Taubat ayat 103, kami dipaksa mengeluarkan sedekah. Dan kebetulan bunyi ayatnya juga seperti itu. Ada perintah mengambil yang menurut ustaz Fadli, sang pemateri, merupakan paksaan dari negara. Dalihnya untuk memperhalus paksaan, ia bilang begini:

"Masa ente dipaksa masuk ke dalam surga nggak mau? Tadi katanya merasa kotor. Kan sudah jelas, siapapun yang tidak menggunakan hukum Islam itu bathil. Batal. Kalian kan menggunakan dasar hukum Pancasila. Nah, kalau mau hijrah, ya syaratnya sedekah. Ibaratnya gini, kalian mau pergi ke Bandung, itu saja butuh biaya. Masa pindah ke negara karunia Allah dan mau masuk surga nggak mau sedekah. Kalau mau, masa juga ngasihnya cuma recehan," ujar Fadli menjelaskan ke kami.

Laila dan temannya yang sudah masuk, menyamar menjadi jamaah baru, dan dengan meyakinkannya ia menyebut sejumlah uang, sejuta atau berapa gitu, lupa. Tapi yang jelas saya terpancing sehingga berani menyebutkan akan menyerahkan uang Rp100 ribu yang artinya saya selama sepekan ke depannya tidak bisa kuliah karena mama memberikan jatah mingguan sebesar apa yang aku ucapkan itu.

Bodohnya lagi, dengan jemawa, mungkin karena di depan Laila, saya bilang kalau sekarang pun bisa, karena uangnya ada di ATM.

Alhasil saya pun dinyatakan siap berhijrah dan bersepakat bahwa besoknya akan dijemput untuk menginap.

"Menginap? dimana aku harus nginap? Kenapa harus menginap?" dan aneka pertanyaan lainnya yang menumpuk di kepala namun tak kuungkapkan, jalanin aja dulu deh, demikian prinsipku.

Dan setelah pulang, aku dan Laila mengambil uang di ATM, aku bangga bisa membuat Laila tersenyum. Cantik betul....

(BERSAMBUNG)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun