Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Author, BNSP Certified Screenwriter, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai Makna dengan Permaknaan: Saat Emosi Merusak Arti

11 Juni 2025   07:44 Diperbarui: 11 Juni 2025   07:44 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikutip dari kajian spiritual Ustaz Adi Hidayat, dalam banyak kesempatan beliau menekankan pentingnya "ilmu sebelum amal", termasuk dalam memaknai peristiwa. 

Banyak kesalahpahaman dalam kehidupan beragama dan sosial karena makna yang dibangun hanya dari emosi dan hawa nafsu, bukan dari ilmu dan hati yang lapang. 

"Makna itu bukan sekadar rasa, tapi harus disandarkan pada ilmu, agar ia tidak liar," kata beliau dalam salah satu ceramahnya yang dilansir dari kanal YouTube Adi Hidayat Official.

Permaknaan yang jernih butuh tiga hal: kesadaran, kelapangan, dan pengetahuan. Kesadaran membuat kita sadar bahwa makna yang muncul adalah hasil tafsir kita. 

Kelapangan membuat kita tidak buru-buru menghakimi atau mengklaim kebenaran tunggal. Dan pengetahuan menolong kita melihat perspektif yang lebih luas, agar tidak terjebak pada emosi sesaat.

Solusinya sederhana tapi tidak mudah: belajar jeda. Belajar untuk menunda reaksi sesaat ketika menerima kata, peristiwa, atau perlakuan. 

Mengendapkan emosi sebelum memaknai. Bertanya pada diri: "Apakah ini tafsirku sendiri? Apakah ada makna lain yang mungkin lebih bijak?"

Makna adalah ruang yang luas. Ia bukan kandang yang mengurung, tapi taman yang bisa ditata. Jika kita sadar bahwa permaknaan adalah proses aktif yang bisa kita kelola, maka hidup pun akan lebih damai.

Pada akhirnya, "memaknai makna dengan permaknaan" bukan soal bermain kata. Ini adalah ajakan untuk sadar bahwa yang kita anggap benar, bisa jadi hanyalah bias. 

Dan hanya dengan kejernihan jiwa serta kejujuran berpikir, kita bisa memaknai sesuatu dengan utuh, bukan untuk mencari siapa yang menang, tapi untuk memahami.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun