Sekitar satu atau dua dekade lalu ketika mendengar anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) diajarkan produksi film pendek saja, mungkin rasanya aneh.
Namun kini, di beberapa (bahkan hampir semua) sekolah, produksi film pendek bukanlah hal yang asing lagi. Pergeseran hidup di era digital mempercepat keadaan tersebut.
Ketika semuanya kini sudah terpaksa digeser ke area digital, maka segala macam bentuk kehidupan yang bisa dilakukan secara digital maka akan segera dilaksanakan.
Televisi dan bioskop bukan lagi menjadi media hiburan utama yang menjadi sarana orang mencari hiburan untuk menonton film.
Bahkan keinginan menonton film berdurasi panjang kini sudah mulai bergeser dengan hanya cukup menonton film-film pendek atau bahkan web series, pendek tapi berseri.
Ini pula yang menyebabkan saya harus bisa beradaptasi, bukan hanya sebagai praktisi di industri, tapi juga harus mulai melirik potensi lain yang tetap bisa mendatangkan cuan tanpa harus menjadi "budak corporate".
Mengenalkan produksi film standar dengan memperkenalkan ilmu sinematografi hingga tingkat dasar dan menengah adalah sebuah keniscayaan yang kini menjadi pilihan, mau tidak mau.
Meski segala sesuatu yang menyangkut informasi, terutama tentang produksi film, sudah bisa dengan sangat mudah diakses tanpa harus "berguru" atau bersekolah film secara resmi, belajar kepada seorang ahli untuk dijadikan mentor terasa tetap lebih valid.
Saat ini, hal itu masih terasa penting, entah beberapa dekade ke depan dimana teknologi Artificial Intelligence (AI) sudah merajalela.
Maka di bulan ini, apa yang menjadi pembukaan di dalam saya menulis artikel ini, sangat berhubungan dengan aktivitas saya di akhir-akhir ini.
Dalam dua kesempatan berbeda, saya "terpaksa" harus memberikan materi pengajaran, baik secara teori, praktek ataupun hanya sekadar wawasan, kepada anak-anak SMP di Jakarta Selatan.