Menurut dari laman Muhammadiyah, budaya yang mengandung unsur syirik, takhayul, atau merugikan kemanusiaan harus dihindari.Â
Tapi budaya yang mengajarkan kebaikan, seperti gotong royong atau seni tradisional yang murni, bisa menjadi bagian dari ibadah sosial.
Contoh nyata penerimaan Islam terhadap budaya dapat kita lihat dalam dakwah para Walisongo. Mereka tidak merusak tradisi Jawa yang telah berakar ratusan tahun. Mereka justru menyusupkan nilai-nilai Islam ke dalamnya.
Dilansir dari Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto, Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit sebagai alat dakwah.Â
Ia mengubah narasi-narasi epik menjadi media penyampaian ajaran tauhid, moralitas, dan keadilan. Sunan Bonang menciptakan tembang-tembang religi yang dibalut dengan musik gamelan agar mudah diterima oleh masyarakat.
Menurut dari artikel NU Online, Walisongo paham betul bahwa budaya tidak bisa dilawan secara frontal.Â
Maka mereka menggunakannya sebagai jembatan, bukan penghalang. Dengan pendekatan ini, Islam diterima tanpa konflik. Dakwah berjalan mulus tanpa memutus akar budaya lokal.
Lalu di mana posisi penjaga budaya dalam konteks ini?
Penjaga budaya seharusnya menjadi pengayom tradisi sekaligus penjaga nilai spiritual. Budaya tak boleh dijadikan sekat untuk menolak ajaran agama. Apalagi sampai menggantikan posisi Tuhan dengan warisan leluhur.
Menjadi penjaga budaya bukan hanya soal melestarikan tarian, pakaian adat, atau upacara-upacara tradisional. Lebih dari itu, penjaga budaya harus bisa menjaga arah, agar budaya tetap berjalan dalam koridor yang tidak bertentangan dengan keimanan.
Karena hakikatnya, budaya hanyalah ciptaan manusia. Sedangkan manusia adalah ciptaan Tuhan. Maka penjaga budaya yang sejati, adalah mereka yang tetap menyandarkan diri pada Tuhan dalam setiap langkah pelestarian tradisinya.