Istilah penjaga budaya makin sering digaungkan di tengah berbagai gerakan pelestarian warisan leluhur.Â
Tapi dalam semangat yang tampak mulia itu, ada setitik keresahan yang perlahan mencuat, apakah mungkin semangat untuk menjadi penjaga budaya harus menyingkirkan peran Tuhan dari ruang batin?
Sebagai penjaga budaya, tentu kita punya tanggung jawab merawat nilai-nilai lokal. Tapi jangan sampai niat baik itu justru membawa kita menjauh dari nilai-nilai Ilahiyah. Kita butuh keseimbangan antara merawat tradisi dan menjaga tauhid.
Budaya memang hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Ia berkembang dari waktu ke waktu, mengikuti dinamika sosial masyarakat.Â
Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), budaya berarti pikiran, akal budi, atau adat istiadat yang telah berkembang. Sedangkan kebudayaan mencakup keseluruhan sistem hidup manusia, termasuk seni, bahasa, kepercayaan, dan hukum.
Lebih mendalam lagi, menurut Prof. Koentjaraningrat---antropolog Indonesia terkemuka---kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.Â
Ia membagi kebudayaan ke dalam tujuh unsur universal: sistem religi, sistem organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, serta kesenian.
Dengan pengertian itu, kita bisa memahami bahwa budaya adalah produk manusia. Karena itu, ia bersifat dinamis, relatif, dan perlu terus dikaji serta disaring, terutama dari sisi nilai ketuhanan.
Budaya itu penting. Tapi ia bukan hal yang mutlak. Karena ia berasal dari manusia, maka budaya bersifat relatif dan perlu disaring. Di sinilah nilai-nilai agama punya peran krusial sebagai penyeimbang.
Islam tidak pernah anti terhadap budaya. Justru, dalam sejarahnya, Islam sangat terbuka terhadap tradisi lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid dan syariat.Â
Budaya yang baik, yang tidak menyalahi nilai-nilai Ilahi, bisa diterima bahkan dikembangkan.