Pertama kali saya menonton "Tilik" di YouTube, saya tidak menyangka film pendek bisa sebegitu mengena.Â
Film pendek Tilik hanya berdurasi delapan menit, tanpa efek visual berlebihan, tapi ceritanya langsung menyentuh sisi paling manusiawi dari kehidupan kita: gosip, prasangka, dan cara pandang masyarakat terhadap perempuan.
Bu Tejo dan rombongan ibu-ibu naik truk bukan hanya jadi meme nasional, tapi juga bukti bahwa film pendek bisa hidup di tengah penonton luas. Isunya sederhana, penyampaiannya cerdas. Pendek, tapi tidak pernah terasa dangkal.
Di tengah derasnya konten digital yang berlomba-lomba jadi viral, film pendek justru memberi pengalaman yang padat, jujur, dan seringkali lebih membekas.Â
Tapi masih banyak yang bertanya, selain di festival atau media sosial, di mana lagi kita bisa menonton film-film pendek seperti ini?
Film Pendek: Ekspresi yang Padat dan Bermakna
Menurut banyak praktisi film, film pendek bukan versi singkat dari film panjang. Ia adalah bentuk ekspresi yang berdiri sendiri, dengan napas, ritme, dan tantangannya sendiri.Â
Di Indonesia, mayoritas film pendek berdurasi 5--20 menit, dan dibuat dengan semangat eksperimentasi serta kebebasan berekspresi.
Data dari berbagai komunitas menunjukkan tren yang menarik. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah produksi film pendek terus meningkat.Â
Festival-festival seperti Minikino Film Week, Europe on Screen, hingga Festival Film Indonesia menerima ratusan submission setiap tahun---dan sebagian besar datang dari komunitas, kampus, dan inisiatif independen.
Kota-kota seperti Yogyakarta, Makassar, Pontianak, dan Kupang tumbuh jadi kantung produksi film pendek yang hidup. Film-film ini membawa warna lokal, dialek daerah, dan isu sosial yang tidak selalu tersorot media arus utama.