Mohon tunggu...
Dimas  Akmal
Dimas Akmal Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum yang (lumayan) gemar menulis

Sedang berkuliah di salah satu universitas di Indonesia. Memiliki ketertarikan pada bidang sejarah, bahasa, dan psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Permasalahan Aktual Hukum Pelayanan Kesehatan Mental dalam Pandemi Covid 19

8 Desember 2020   10:44 Diperbarui: 8 Desember 2020   10:51 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: unsplash.com . Karya Tim Mossholder

Pandemi COVID-19 menyebabkan kondisi dunia berubah. Tidak hanya dari segi kesehatan masyarakat dunia, tetapi juga dari berbagai sektor semisal ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan, dan banyak lagi. 

Kondisi dunia perlahan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya jumlah kasus aktif COVID-19. Penyakit yang menyerang sistem pernafasan ini dapat menyebabkan kematian, dibarengi dengan beberapa gejala seperti sesak nafas, demam tinggi, batuk-batuk, dan lain sebagainya. Pandemi yang berawal dari kota Wuhan, Tiongkok ini telah menyebar ke hampir setiap negara di dunia, termasuk Indonesia sendiri. 

Per tanggal 8 Oktober 2020, menurut statistik mengenai jumlah kasus aktif COVID-19 yang dikeluarkan oleh Center for System Sciences and Engineering John Hopkins University (CSSE JHU) (Hopkins 2020), terdapat kasus aktif di dunia sebanyak 36.071.253 juta kasus. Sedangkan, untuk di Indonesia sendiri, per tanggal yang sama, yaitu 8 Oktober 2020, terdapat kasus aktif sebanyak 315.714 ribu kasus. Hal ini menandakan bahwa di Indonesia sendiri, jumlah kasus COVID-19 sudah cukup menghawatirkan masyarakat, khususnya mereka yang berada dalam kondisi rentan.

Di tengah kondisi pandemi seperti ini, tentunya terdapat banyak aspek kehidupan kita yang terpengaruhi. Semisal, pekerjaan, aktivitas sosial, beribadah, dan gaya hidup secara keseluruhan. Sejauh ini, hampir semua negara di dunia sudah menerapkan beberapa kebijakan baru terkait penanganan COVID-19 agar ditekan penyebarannya sehingga tidak membahayakan orang banyak. Adapun contoh dari kebijakan-kebijakan pembatasan sosial skala besar atau PSBB, penutupan akses keluar masuk negara, penutupan tempat-tempat umum, dan memberlakukan pola hidup sehat. Selain itu, jam kerja untuk rumah sakit dan tenaga medis ditambah seiring dengan meningkatnya jumlah kasus aktif.

Seiring dengan banyaknya perubahan yang terjadi pada masa pandemi COVID-19 ini, berbagai permasalahan terkait usaha-usaha untuk mulai menyesuaikan diri dengan kondisi baru bermunculan. Selain karena sebagian masyarakat terkena COVID-19, sebagian lagi berusaha untuk terus selalu bertahan di kondisi yang menyebabkan kehidupan mereka berubah seketika. Tidak jarang mereka mengalami reaksi-reaksi psikologis sebagai akibat dari PHK, kehilangan orang yang disayangi, merasa kehilangan harapan dan tujuan, dan lain sebagainya.

Menurut sebuah artikel jurnal di Amerika Serikat yang dikeluarkan oleh International Journal of Medicine (Serafini, et al. 2020), beberapa contoh reaksi psikologis yang kemudian muncul antara lain adalah ketakutan berlebih atas infeksi COVID-19, isolasi sosial berlebih, frustasi dan kebosanan, dan kesepian yang dapat membuat orang menjadi tidak berdaya. 

Dapat disimpulkan, bahwa keempat contoh reaksi psikologis tersebut adalah suatu urutan kejadian. Dari artikel tersebut dijelaskan, bahwa pertama-tama, orang akan merasa takut karena sudah merasa terekspos kepada sumber virus, takut menyebarkan virus ke orang-orang terdekat. 

Setelah mengalami ketakutan berlebih, orang akan mulai menghindar dari kerumunan sebagai akibat dari kebijakan lockdown yang lama-lama bisa menyebabkan ansietas atau kecemasan sebagai akibat dari kurangnya pengalaman fisik seperti beraktivitas pada biasanya dan kesepian atau lelah berkepanjangan.

Setelah orang mengisolasi dirinya sendiri, bisa muncul gejala seperti perasaan frustasi dan bosan sebagai akibat dari pengurungan diri, berkurangnya kontak dengan orang lain, dan berubahnya kebiasaan hidup. Setelah itu, orang bisa merasa kesepian yang dapat dikaitkan dengan depresi, kecemasan, dan kecenderungan bunuh diri. Tentunya kondisi ini dapat diperparah jika terdapat trauma yang sudah dimiliki sejak kecil, atau substance abuse berupa kebiasaan meminum alkohol atau narkoba.

 Lantas, bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Kondisi di Indonesia juga tidak berbeda. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan layanan swaperiksa secara daring melalui lamannya pdskji.org/home mulai dari bulan April 2020 sampai dengan bulan Agustus 2020 untuk melihat dampak pandemi COVID-19 di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun