Gerakan mahasiswa di Universitas Islam Jember (UIJ) sedang mengalami kemunduran yang tidak bisa lagi disangkal. Di tengah tuntutan zaman yang menuntut keberanian berpikir dan ketajaman sikap, organisasi mahasiswa justru terjebak dalam rutinitas struktural yang kosong makna. Mereka sibuk menyusun agenda, mengurus proposal, dan menggelar acara seremonial, namun lupa bahwa esensi gerakan adalah keberpihakan, keberanian, dan intelektualitas. Yang tersisa hanyalah formalitas tanpa substansi.
Krisis ini berakar pada kepemimpinan yang kehilangan arah. Para pemimpin organisasi mahasiswa UIJ lebih sibuk membangun citra daripada membangun gagasan. Mereka lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan integritas. Kepemimpinan intelektual yang seharusnya menjadi ruh gerakan telah digantikan oleh kepemimpinan administratif yang hanya pandai mengatur jadwal dan mengisi laporan. Tidak ada keberanian untuk menggugat, tidak ada ketajaman untuk membaca realitas sosial.
Lebih parah lagi, organisasi mahasiswa internal kampus mulai menunjukkan sikap eksklusif dan anti-dialog terhadap organisasi eksternal. Alih-alih membuka ruang kolaborasi dan pertukaran gagasan, mereka justru memosisikan organisasi luar sebagai ancaman. Bahkan, beberapa organisasi internal UIJ secara aktif menghasut mahasiswa baru agar tidak bergabung dengan organisasi eksternal. Mereka menyebarkan narasi negatif, membangun stigma, dan menciptakan ketakutan yang tidak berdasar. Ini bukan sikap intelektual, ini adalah bentuk pembunuhan karakter yang dilakukan secara sistematis.
Tindakan menghasut mahasiswa baru agar menjauhi organisasi eksternal menunjukkan betapa rendahnya kualitas kepemimpinan dalam organisasi internal. Bukannya bersaing secara gagasan, mereka memilih jalan pintas: propaganda. Bukannya membangun kekuatan ide, mereka memilih membangun tembok pemisah. Padahal, dalam tradisi gerakan mahasiswa, perbedaan adalah energi, bukan ancaman. Ketika organisasi mulai takut pada wacana tandingan, itu artinya mereka sudah kehilangan kepercayaan diri sebagai ruang produksi intelektual.
Minimnya budaya intelektual di tubuh organisasi mahasiswa UIJ semakin memperburuk keadaan. Forum diskusi yang seharusnya menjadi ruang pembentukan gagasan nyaris tak terdengar. Aktivitas organisasi lebih banyak berkutat pada urusan teknis dan seremonial, tanpa ada upaya serius untuk membangun tradisi berpikir yang kritis dan reflektif. Akibatnya, organisasi kehilangan relevansi dan daya pengaruhnya di tengah kehidupan kampus. Mereka hadir secara fisik, tetapi absen secara intelektual.
Krisis ini juga tampak dalam rendahnya kemampuan intelektual para pemimpin organisasi. Banyak dari mereka tidak memiliki kapasitas analisis yang memadai, tidak memahami konteks sosial yang sedang berlangsung, dan tidak mampu merumuskan arah gerakan yang jelas. Kepemimpinan yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan justru menjadi beban struktural yang memperlambat gerakan. Mereka lebih sibuk mengurus surat menyurat daripada mengurus nasib mahasiswa yang terpinggirkan.
Ketidaktahuan terhadap prosedur antarorganisasi menjadi bukti nyata lemahnya literasi organisasi. Ketika sebuah organisasi mahasiswa mengirimkan surat somasi sebagai bentuk kritik atau teguran, organisasi yang disomasi bukannya melakukan refleksi atau klarifikasi internal, malah membalas dengan surat klarifikasi yang menunjukkan ketidaktahuan terhadap substansi somasi itu sendiri. Ini bukan hanya memalukan, tapi juga menunjukkan betapa rendahnya kemampuan berpikir dan etika organisasi.
Alih-alih menjadikan somasi sebagai momentum evaluasi, mereka justru menjadikannya ajang pembelaan ego. Bukannya bertanya "apa yang salah dari kami?", mereka sibuk menyusun narasi "kami tidak salah, kalian yang berlebihan." Ini adalah bentuk penolakan terhadap kritik yang sangat tidak sehat. Organisasi yang tidak bisa menerima kritik adalah organisasi yang tidak akan pernah tumbuh. Dan pemimpin yang tidak bisa membaca kritik adalah pemimpin yang tidak layak memimpin.
Sudah saatnya organisasi mahasiswa UIJ berhenti bermain aman. Berhenti menjadi pelengkap acara kampus. Berhenti menjadi penonton dalam sejarah. Mereka harus kembali menjadi ruang pembebasan, ruang dialektika, dan ruang perlawanan. Kepemimpinan intelektual harus dibangun dari keberanian berpikir, bukan dari kepatuhan struktural. Dari ketajaman membaca realitas, bukan dari kemampuan menyusun laporan kegiatan.
Jika tidak, maka organisasi mahasiswa UIJ hanya akan menjadi nama tanpa makna. Struktur tanpa ruh. Gerakan tanpa arah. Dan kampus akan terus berjalan tanpa denyut intelektual yang seharusnya dijaga oleh mereka yang mengaku sebagai pemimpin mahasiswa. Mahasiswa baru akan terus dicekoki propaganda, bukan gagasan. Dan organisasi eksternal akan terus dibenci, bukan dipahami. Ini bukan gerakan. Ini adalah kemunduran yang disamarkan dengan baju organisasi.