Mohon tunggu...
Dimas Agus Hairani
Dimas Agus Hairani Mohon Tunggu... Administrasi - Man Jadda Wajada

S1 Manajemen Unesa | S2 Sains Manajemen Unair | Part of LPDP_RI PK 163

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selalu Ada Jalan Keluar

11 Oktober 2017   02:52 Diperbarui: 27 Februari 2018   01:29 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ustadz Yusuf Mansur pernah menyampaikan sebuah motivasi pada sebuah acara di Yogyakarta 2013 silam. Beliau memberikan motivasi kepada kami semua mengenai setiap persoalan senantias ada jalan keluarnya. Ada suatu cerita antara tentara Firaun yang pada waktu itu mengejar Nabi Musa beserta kaumnya dimana hal ini Allah terangkan di Al Quran surat Asy Syu’araa’ ayat 61-65. Pada waktu itu umat Nabi Musa sampailah pada laut merah, sehingga tidak ada jalan keluar lagi bagi beliau dan umatnya, sementara itu pasukan Firaun sudah sangat mendekat dan sampailah pasukan Firaun dan umat Nabi Musa sudah bisa saling melihat. Dalam posisi ini, kita mungkin sering mengalami yang istilahnya dead lock atau jalan buntu. Dalam suatu kondisi kita tidak bisa membuat suatu keputusan yang bisa membuat kita menuju jalan keluar sebuah masalah. Beberapa dari kita mungkin ada yang bingung dan akhirnya menyerah, ada yang mencoba sekuat tenaga tapi tetap tidak berhasil, namun ada juga yang TIDAK DIA PIKIRKAN SEBELUMNYA justru menjadi jalan keluar baginya.

Ketika tentara Firaun sudah sangat dekat, maka berkatalah umat Nabi Musa kepada Nabi Musa, “Inna lamudrakuun-Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Maka kemudian Nabi Musa menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Begitulah jawaban tegas dari Nabi Musa, beliau mengatakan “KALLA-tidak akan”, “Inna ma’iya rabbi sayahdiin-sesungguhnya TUHANKU BESERTAKU”. Kemudian turunlah perintah Allah kepada beliau, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”, maka setelah itu lautan pun terbelah menjadi dua layaknya gunung yang besar, kemudian Allah selamatkan Nabi Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Firuan dan pasukannya. Bahkan sekarang mumi Firaun dapat kita saksikan di Museum Kairo, Mesir, sebagai pelajaran bagi kita semua.

Apabila kita merenungkan kisah dari Nabi Musa, ternyata jalan keluar dengan melewati laut merah tidak pernah terbayangkan oleh para umat Nabi Musa dan oleh Nabi Musa sendiri. Beliau menyerahkan kepada Tuhannya yaitu Allah. Maka seperti apa yang disampaikan oleh Allah dalam petunjukNya, “…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Thalaaq (65): ayat 2-3).

Maka apa yang dilakukan Nabi Musa adalah bertawakal. Tawakal bermakna dasar mewakilkan. Sebagaimana kita ketika naik kapal, kita tawakal atau mewakilkan kemudi kapal tersebut kepada nahkoda yang telah ahli dan lebih mengetahui seluk beluk kapal dari pada kita sendiri, sehingga agar proses berlayar dan sampai pada tujuan, para penumpang menyerahkan semuanya, mempercayakan kepada Sang Nahkoda. Tentu proses itu dilalui dengan tetap ada usaha dari individu, sebagaimana pelajaran dari cerita Nabi Musa, beliau berlari dulu menghindari pasukan Firaun, tidak semerta-merta kemudian Allah langsung menunjukkan kepada Nabi Musa dengan berkata “Hai Musa, larilah ke laut merah, nanti akan Aku belahkan laut itu sehingga engkau bisa lewat”. Tidak demikian, Allah tetap menyuruh kita untuk berusaha atau dalam istilahnya adalah ikhtiar. Sebagaimana yang dicontohkan suri tauladan kita yakni Nabi Muhammad ketika Perang Badar, dengan pasukan beliau yang hanya berjumlah kurang lebih 300 orang melawan pasukan kaum Quraisy yang berjumlah sekitar 10 ribu orang. Beliau tetap berikhtiar semaksimal mungkin, menyiapkan strategi terbaik, baju perang terbaik, walaupun beliau tahu apabila janji Allah pasti membuat beliau menang, tapi beliau tetap berikhtiar.

Seperti itulah proses ikhtiar dan tawakal yang dicontohkan oleh para Nabi Allah. Lalu manakah yang lebih dulu, ikhtiar atau tawakal?. Ikhtiar berarti sebuah usaha untuk mencapai apa yang diinginkan. Sementara tawakal ada penyerahan kehendak kepada Tuhan. Manusia memiliki apa yang disebut dengan Kemerdekaan Manusia, artinya manusia dapat melakukan apapun semaunya. Tetapi, apakah kita bisa menjamin setiap apa yang kita lakukan bisa kita lakukan?, sebagaimana misalnya saya membuat tulisan ini. Bagaiaman ketika tengah pengetikan terjadi error, atau tiba-tiba lamu mati dan belum tersimpan tulisannya di komputer?. Ternyata, konsep ikhtiar dulu baru tawakal menurut saya dari yang saya alami dan saya pelajari adalah ikhtiar dan tawakal berjalan seiringan. Sebagaiaman saya membuat tulisan ini, ini adalah ikhtiar saya dalam berbagi ilmu, dalam waktu yang sama saya bertawakal menyerahkan kepada Allah proses ikhtiar saya, dan tentu hasil dari ikhtiar tersebut. Apabila saya tidak menyerahkan kepada Allah terkait proses ikhtiar saya, bagaimana mungkin saya bisa tau kalau proses ikhtiar saya akan berjalan mulus?, apalagi hasil dari ikhtiar kita. Oleh karena itulah tawakal senantiasa ada dalam proses ikhtiar dan pasca ikhtiar yaitu hasil yang ingin dicapai.

Apabila kita mengandalkan kemampuan kita sendiri, tentu manusia memiliki segala keterbatasan, sehingga dalam menjalankan proses ikhtiar itupun manusia harus bertawakal, menyerahkan kepada Sang Maha Tahu, namun bukan berarti menyerahkan adalah tidak ikut melakukan dan biarlah Tuhan yang melakukan. Tentu tidak, Allah sampaikan dalam petunjukNya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d (13): ayat 11). Allah tidak akan mengubah keadaan kita, apabila kita sendiri tidak mau mengubahnya. Tawakal dalam ikhtiar berarti, kita tidak menganggap kita bisa melakukan semuanya tanpa IZIN ALLAH, kita senantiasa membutuhkan izin Allah, membutuhkan PETUNJUK ALLAH agar proses ikhtiar berjalan semaksimal mungkin, itulah yang dinamakan tawakal dalam ikhtiar. Kita tidak mungkin berdiam diri lalu tiba-tiba bisa sampai ke suatu pulau tanpa berlayar kesana, kita tetap perlu naik ke kepal tersebut, kita pasti akan lewat tangga kapal, tidur di kapal, makan di kapal, begitulah ikhtiar kita. Sembari kita melakukan ikhtiar tersebut agar sampai ke pulau sebrang dengan selamat, dengan sehat juga, maka setiap apa yang kita lakukan di kapal, kita mempercayakan kapal berlayar itu kepada Sang Nahkoda. Seperti apa yang disampaikan oleh Ibnu ‘Athailah dalam buku beliau Kitab Al Hikam, “Di antara tanda-tanda orang yang mengandalkan amal perbuatannya adalah kurang adanya pengharapan kepada rahmat Allah sewaktu terjadi kesalahan pada dirinya.”

Kita yang senantiasa terbatas dalam setiap hal maka harus kita percayakan kepada yang Maha Tidak Terbatas. Dalam proses ikhtiar itupun kita menyerahkan kepada Allah, artinya kita mempercayakan bahwa proses ikhtiar ini tidaklah bisa berhasil tanpa petunjuk Allah. Begitupula hasil, hasil yang akan kita dapat dari proses ikhtiar kita yang senatiasa mengharap pertolongan dan petunjuk Allah adalah tidak mungkin bisa terjadi tanpa kehendak Allah pula. Jalaluddin Rumi mengatakan, “Sungguh kasihan orang yang sampai ke laut dan ia merasa puas mendapatkan sedikit atau sebotol air, sementara mutiara dan ratusan ribu benda-benda berharga dalam laut bisa dikumpulkan”. Ketika orang tersebut berusaha mendapatkan air tanpa proses penyerahan diri kepada Tuhan, maka dia hanya mengandalkan pengetahuannya yang seba terbatas, maka itulah yang dia dapatkan hanya sebotol air. Berbeda dengan yang menyerahkan pengetahuannya kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui, maka diberikan dia petunjuk untuk mengambil apa yang ada di dalam lautan yaitu berupa mutiara yang berharga. Begitulah proses mencari jalan keluar, dalam ikhtiar menemukan sebuah solusi dan solusi apa yang akan kita dapat, senantiasa ada jalan keluar SELAMA DIA BERSAMA ALLAH-ma’iya rabbi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun