Mohon tunggu...
Dimas Saputra
Dimas Saputra Mohon Tunggu... Penulis - CW

Journalist & Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mungkinkah Konsensus Nasional untuk Jokowi?

22 Maret 2018   14:20 Diperbarui: 22 Maret 2018   14:24 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah diapungkan gagasan Jokowi capres tunggal, kini pemikiran berkembang lebih jauh lagi. Tesisnya menjadi "Melalui Konsensus Nasional bisa saja Jokowi ditetapkan menjadi Presiden 2019-2024". Pola pikir dan argumentasinya tetap sama. Karena memang hanya ada satu pasangan capres-cawapres, yaitu Jokowi dan pasangannya, maka pembenaran dan legitimasinya dibangun dengan pendekatan "konsensus nasional"

Bagi yang sempat dan bahkan ngotot menentang ide capres tunggal karena dianggap inkonstitusional harus mengangkat bendera putih, alias menyerah. Mengapa? Ternyata dalam UU Pemilu Tahun 2017 capres tunggal itu dimungkinkan. Dalam realitas sekarang hingga Agustus 2018 mendatang, jadwal pendaftaran pasangan capres-cawapres, memang ada jalan bagi Jokowi untuk menjadi capres tunggal. Dikabarkan, di bawah permukaan orang-orang Jokowi dan PDIP juga tengah bekerja untuk itu.

Lantas apa bedanya konsep capres tunggal yang implementasinya Jokowi melawan "bumbung kosong" dengan konsep "konsensus nasional" yang intinya Jokowi langsung ditetapkan sebagai Presiden mendatang? Ada. Mungkin ide baru ini akan menimbulkan polemik dan debat yang keras.

Ide konsensus nasional ini merujuk "budaya" pemilihan Presiden masa Orde baru dulu. Soeharto ditetapkan dan diangkat oleh MPR 6 kali berturut-turut, tanpa dilakukan pemilihan. Tidak harus melawan bumbung kosong. Logikanya, rakyat yang telah diwakili oleh seribu anggota MPR waktu itu telah sepakat (beraklamasi) untu mengangkat Soeharto sebagai pemimpin mereka. Jadi sah dan kuat secara hukum dan politik. Juga cepat, aman dan murah biayanya.

Dikaitkan dengan desakan sejumlah kalangan agar Jokowi ditetapkan menjadi capres tunggal, bisa saja MPR kita berpikir hal yang sama. Seperti MPR di era Orde Baru dulu. Memang dalam konstitusi kita, UUD 1945, tidak ada lagi wewenang MPR untuk mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden. Tetapi, karena ini merupakan kehendak rakyat, atau konsensus nasional, yang kemudian dibenarkan oleh undang-undang pemilu yang berlaku, tetap saja memiliki legalitasnya. Anggaplah anak lahir lebih dahulu dari ibunya. Konstitusi mengalah pada undang-undang demi kepentingan nasional. MPR bisa berkata kami "tidak meilih", hanya mengesahkan kehendak rakyat itu.

Kalau arus pemikiran ini makin besar, dan sepertinya akan menjadi kenyataan, sebagai warga negara yang cinta demokrasi saya ingin menyampaikan pendapat saya.


Kalau memang kehendak untuk menjadikan Jokowi sebagai capres tunggal ini benar ~ merupakan kehendak mayoritas rakyat Indonesia, misalnya 80% lebih, berarti konsensus nasional itu memiliki landasannya yang kuat. Kalau 80% lebih rakyat kita sungguh ingin Jokowi memimpin lagi, di era demokrasi ini, pastilah Jokowi adalah sosok yang sangat hebat dan luar biasa. Luar biasa dari segi integritas, kapasitas, kinerja dan juga prestasinya. Misalnya, di bawah kepemimpinannya Indonesiad terbukti telah benar-benar menjadi negara yang adil dan makmur, dan rakyat kita merasa sangat bahagia karenanya.

Tetapi, kalau prestasi Jokowi tidak sehebat itu, berarti terjadinya Jokowi sebagai capres tunggal dan konsensus nasional ini "buatan". Atau sebuah "orkestra" dan kerja politik yang sangat cerdik dan sekaligus sukses. Bisa saja melalui penggunaan tangan-tangan kekuasaan dan uang yang melimpah, sehingga membuat banyak pihak tidak berkutik. Kalau ini yang terjadi, yang mungkin juga bukan buah pikiran dan kehendak Jokowi sendiri, kita harus sungguh berhati-hati. Ingat masa lalu kita. Presiden Soekarno ditetapkan oleh MPRS menjadi Presiden seumur hidup. Kemudian, Presiden Soeharto yang juga menjadi capres tunggal dan 6 kali berturut-turut ditetapkan oleh MPR sebagai Presiden. Apa yang terjadi? Kedua pemimpin yang kuat dan banyak jasanya itu mengalami nasib yang tragis di penghujung kekuasaannya.

Andaikata Jokowi sehebat Soekarno dan Soeharto pun, saya kira dia tidak ingin mengalami nasib yang tidak baik. Itu saja untuk kita renungkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun