Mohon tunggu...
AK Pometia
AK Pometia Mohon Tunggu... Freelancer - Perempuan Sederhana yang berpikir kompleks. Cinta Hasil Pikir dan Pelangi Kreativitas pada Guratan Pena.

A Wife ~ Mother of 2 Teenagers and a Blogger https://www.akpometia.com/ {akpometia@gmail.com}

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pekerja Informal Profesional, Mungkinkah?

2 November 2021   23:12 Diperbarui: 5 November 2021   03:45 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Ojek pangkalan di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, Sabtu (22/2/2020). (Foto: KOMPAS.com/ BONFILIO MAHENDRA WAHANAPUTRA LADJAR) 

Keluar parkiran Pusat Perbelanjaan Tanah Abang tertegun sejenak, tidak ada celah untuk langsung belok kanan menuju Kuningan. 

Nyali sudah disiapkan ketika hendak berbelanja di sini, nyali berburu bahan, baju dan jilbab untuk acara perpisahan sekolah anak-anak, juga nyali untuk berjibaku dengan kemacetan jalan seputaran Tanah Abang.

Pelan-pelan merayap, lampu sein kanan dinyalakan, siap-siap belok. Wuuuts, dengan sigap salah satu pekerja informal Indonesia yang mahfum dengan panggilan Pak Ogah, "mengawal" mobil.

Sedangkan Pak Ogah yang lain menghadang mobil dari arah berlawanan, menjadikan badannya sebagai tameng supaya kita bisa lewat. Alhamdulillah, lancar, lega rasanya sudah mengarah ke Kuningan. 

Para Pak Ogah ini tidak bekerja sendiri, mereka bekerja sebagai tim. Pembagian tugasnya matang, ada yang menghadang mobil, ada yang mengawal mobil dan ada yang bertugas sebagai "kasir". 

Profesionalitasnya terlihat jelas, resiko pekerjaan jangan ditanya, belum lagi persaingan antar Pak Ogah . Jadi, menyisihkan sedikit rizqi untuk mereka rasanya bukan masalah besar, justru harus dianggarkan ketika berbelanja disini.

Lalu, teringat tukang parkir di salah satu minimarket. Mulai dari masuk ke halaman parkir sampai dengan selesai berbelanja, servis tukang parkir tersebut di atas rata-rata. 

Mulai dari memastikan kita parkir dengan presisi, membukakan pintu mobil, sigap menawarkan bantuan untuk membawa belanjaan, dan siap sedia dengan payungmya ketika hujan. 

Tidak lupa senyum ramahnya yang ditutup dengan kalimat, "Hati-hati di jalan bu". Kalau sudah begini, tidak sayang rasanya untuk menghargai kerja mereka.

Zaman kuliah, ketika sering naik turun bis dan kereta, bakat dan keseriusan pengamen-pekerja informal sektor seni dalam menghibur penumpang, patut diacungi jempol. 

Banyak dari mereka yang suaranya merdu, penguasaan alat musiknya juga lumayan bagus, totalitasnya terasa dan cukup interaktif. Biasanya tipe pengamen seperti ini membuat penumpang ringan tangan untuk memberi apresiasi berupa uang kepada sang pengamen.   

Lain lagi cerita pertemuan dengan pembersih kaca mobil informal, notabene selama ini belum pernah bertemu dengan pekerja yang serius dalam melakukan kreativitas menawarkan jasa kilat membersihkan kaca mobil di lampu merah. 

Kebanyakan bekerja serampangan, sekedar mengelap kaca mobil dengan lap yang warnanya sudah tidak jelas, terkadang sedikit mengintimidasi walaupun sudah terang-terangan menolak jasa mereka.  

Pengalaman pribadi tersebut hanya sebagian kecil contoh keseharian, di mana kita kerap bersinggungan dengan para pekerja informal. 

Sebagian kecil melakukannya dengan profesionalitas tinggi, sebagian yang lain bekerja dengan standar hasil yang rendah, serta sisanya hanya bekerja sekedarnya kalau tidak mau dibilang asal-asalan. 

Apresiasi berupa uang yang kita berikan pun pasti beragam alasannya, ada yang puas dengan pertolongannya, karena kasihan dan tidak tega, atau bisa jadi karena memang sudah menjadi kebiasaan untuk selalu memberi.  

Pekerja Informal - Sisi Unik Sebuah Negara

Sumber: You Tube Cerita Jalanan
Sumber: You Tube Cerita Jalanan

Fenomena di atas biasa terjadi di kota-kota besar. Pekerja informal bermunculan seiring dengan himpitan ekonomi dan kompleksitas masyarakat ibu kota, serta kesempatan yang  ditangkap dan diterjemahkan dalam bentuk kreativitas yang menghasilkan uang. 

Mulai dari Pak Ogah, baik yang solo karir maupun yang berkelompok, pengamen, tukang parkir, silver man (orang yang badannya dicat silver), arakan ondel-ondel, topeng monyet, ojek payung, odong-odong dan lain sebagainya.

Pekerja di sektor informal seperti tidak tertangkap radar pemerintah, ada tetapi tiada. Secara statistik, sektor informal dapat diterjemahkan sebagai sektor yang tidak terorganisasi dan tidak teratur, mayoritas legal tetapi tidak terdaftar. 

Hasil akhirnya adalah profesi informal yang konstan bermunculan sebagai bentuk ikhtiar dan kreativitas, juga kenekatan untuk tetap bisa bertahan hidup.

Selain dari cerita di awal tulisan, pekerja informal di Indonesia sangat banyak dan beragam. Sepanjang perjalanan di setiap daerah Indonesia, tebarkanlah pandangan ke sekeliling, lihat dan perhatikan baik-baik,  betapa banyaknya pekerja informal yang tertangkap mata.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang perekonomiannya marak dengan sektor-sektor informal. Negara lain pun memiliki sektor informal yang tidak kalah dengan Indonesia, lengkap dengan pekerja informalnya, menyajikan juga merepresentasikan ciri khas negara. 

Tidak jarang bukan, ketika berlibur di negeri orang, tanpa sadar kita rindu Indonesia, rindu dengan geliat kehidupan informal di negeri sendiri. Inilah yang menjadi warna berbeda sekaligus sisi unik sebuah bangsa.

Benci tapi Rindu

Pekerja informal bagaikan dua sisi mata uang. Kadang butuh, kadang tidak. Suatu saat kita diuntungkan, di lain waktu sangat dirugikan. 

Misal, ketika mobil dihadang untuk memberi jalan mobil lain tanpa peduli kemacetan yang sudah mereka sebabkan, atau tukang parkir yang"mager", hanya bergerak ketika mobil sudah mau keluar, tidak ambil pusing sewaktu kita susah payah berusaha parkir. 

Jangan ditanya berapa banyak Pak Ogah yang justru malah menghalangi jalan dan bikin kagok, jelas-jelas jalan di dua arah kosong melompong, tapi kita dihadang untuk ikut arahannya. 

Atau mungkin pernah lagi makan, tangan kotor belepotan, tiba-tiba harus cari uang receh untuk pengamen yang enggan beranjak dari meja kita.

Namun tidak dipungkiri, kehadiran para pekerja informal ini terkadang justru dicari-cari. Beberapa kali di suatu daerah, kita kesulitan untuk putar balik, kepala sudah celangak-celinguk cari Pak Ogah, uang pun sudah disiapkan, namun apa daya, Pak Ogah tidak tampak. 

Kemudian, ketika hujan deras, mau lari ke mobil pasti basah kuyup, tunggu hujan berhenti pasti lama, di saat seperti ini, berharap ada ojek payung yang berseliweran. Pun berharap sangat ada tukang parkir yang mengarahkan ketika harus parkir paralel di tempat yang sempit. 

Benci tapi rindu, itulah rasa yang tepat untuk menggambarkan situasi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun