Pria berusia 39 tahun itu sebetulnya selain mempunyai sikap yang mudah akrab dengan orang lain, beliau adalah sosok pustakawan yang humoris.
Jadi, kesan yang ada pada masyarakat, khususnya siswa-siswi bahwa kebanyakan pustakawan adalah orang yang galak, yang akan menegur jika pemustaka berisik, yang pandangannya seolah mengintai para pemustaka dan berbagai paradigma buruk lain tentang pustakawan---itu sama sekali tidak saya temui pada diri Pak Deni.
Mengajak Berdiskusi Siswa-Siswi Agar dapat Berpikir Kritis
Pernah suatu ketika, Pak Deni diajak berdiskusi oleh siswanya di perpustakaan tersebut. Siswa itu berkata, "Pak, saya setiap hari itu membaca dan menulis. Membaca whatsapp, membaca status di facebook, membaca ketika browsing, itu kan juga kegiatan membaca,
Pak." Melihat siswa yang berpikir kritis seperti itu, Pak Deni menyiapkan jawaban yang cukup cerdas. Beliau mencoba memberi pemahaman bahwa membaca di akun media sosial dengan membaca buku itu tidaklah sama manfaatnya.
Membaca di gadget hanya memberi pengetahuan yang sifatnya sekilas, sedangkan membaca buku dapat memberi asupan pengetahuan yang luas dan kompleks.
Singkatnya, membaca di akun media sosial dengan membaca buku itu amat berbeda. Kira-kira, begitulah jawaban beliau terkait pertanyaan dari siswanya tersebut.
Memperbolehkan Makan dan Minum
Dari sekian banyak peraturan di perpustakaan sekolah, mungkin hanya perpustakaan SMA Santho saja yang memperbolehkan pemustakanya makan dan minum di ruang perpustakaan.
Bukannya apa-apa. Pak Deni, pustakawan SMA Santho hanya ingin menciptakan suasana nyaman dan humanis bagi para pemustakanya. Dengan adanya peraturan tidak tertulis ini, maka siswa siswi akan menganggap jika peraturan di perpustakaan tersebut tidaklah memberatkan.
Justru ketentuan yang ada malah semakin memudahkan siswa siswi agar dengan senang hati dan tanpa paksaan mau berkunjung ke perpustakaan.