Awal Tahun Baru Islam atau 1 Muharram, sering ditandai dengan perayaan sederhana seperti membaca doa, tausiyah, bahkan acara sederhana di beberapa komunitas. Namun pertanyaan muncul: apakah tradisi ini sepenuhnya berasal dari ajaran Ahlussunnah (Sunni) atau terdapat pengaruh dari tradisi Syiah yang lebih kental dengan nuansa syahar (bulan suci) dan budaya penderitaan atau kesedihan?
Sebagian pihak menganggapnya sebagai bidah yang bercampur tradisi peringatan Karbala, sementara yang lain menilai ini merupakan bagian dari kebudayaan Islam yang berdasar sumber.
Di kalangan kaum Syiah, Hari Raya Muharram memiliki makna yang mendalam. 10 hari pertama diisi dengan majelis duka, prosesi, dan ritual memperingati kesyahidan Imam Husain di Karbala---sebuah perayaan keagamaan yang tak ditemui di antara mayoritas Sunni. Sebaliknya di kalangan Sunni, Muharram dikenal sebagai bulan suci dan disunnahkan berpuasa pada tanggal 9--10 Muharram (Asyura) karena Nabi Musa diselamatan dari Fir'aun pada hari itu .
Melansir History.com, perbedaan utama muncul karena perbedaan penanggalan (Syiah Twelver menghitung awal tahun pada 1 Rabi' al-Awwal) dan fokus ritual. Syiah menjadikan Muharram sebagai momen keagamaan dengan identitas duka, sedangkan Sunni lebih menekankan puasa sunnah Asyura dan refleksi sejarah Hijrah, bukan perayaan meriah.
Apakah Perayaan Tahun Baru Islam Sunni Murni atau Terpengaruh Syiah?
1. Landasan Syariat Sunni
Bersumber dari IslamiCity, Asyura (10 Muharram) dalam tradisi Sunni mulanya diselenggarakan sebagai bentuk syukur atas keselamatan Nabi Musa dan berdirinya kembali ke tanah suci---bukan peringatan Karbala. Orang-orang Quraisy di era Umayyah bahkan membuat Asyura sebagai festival untuk menyaingi Syiah . Puasa sunnah Asyura saat ini diakui sebagai amalan yang dianjurkan oleh ulama Sunni.
2. Proses Distingtif Syiah
Menurut sumber Al-Islam.org, Syiah mengisi 10 hari pertama Muharram dengan ritual berduka, prosesi dan pawai, pengalaman publik yang menegaskan identitas Syiah. Praktik ini tidak ditemukan dalam sunnah Nabi secara eksplisit, tetapi berkembang sejak abad awal Islam---terutama sebagai cara memperingati dan mengekspresikan keterikatan emosional pada peristiwa Karbala.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI