Mohon tunggu...
Dikpa Sativa
Dikpa Sativa Mohon Tunggu... -

Perempuan Buku

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Istiqomahlah Kita. Semoga

24 Mei 2014   08:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:10 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1400868403782729390


Di subuh yang menua, ada kaki-kaki kecil yang ingin kita langkahkan segera. Ada tangis yang meleleh begitu saja. Ada hati yang terperangkap sesak, kenangan-kenangan buruk. Ada rindu yang ingin pecah berantakan.

Kepala kita barangkali terlalu sibuk memikirkan bagaimana jadinya kita nanti. Juga, terlalu cemas dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Dan, selalu saja … dihantui pertanyaan-pertanyaan, kapan dan darimana mestinya kita memulai?

Kita sama-sama tahu bahwa telah begitu banyak waktu yang kita lipat dalam kekosongan. Taman-taman ilmu yang konon menyejukkan tidak membuat kita, lebih tepatnya aku, berhenti bertanya. Kita kadang membantah apa-apa yang mereka ucapkan. Kita tidak sepakat bahwa apa-apa yang kita dengar tak mesti larut kita pikirkan. Kita mengakui diri sebagai perempuan-perempuan modern yang kepalanya wajib dipenuhi soal-soal; tentang Tuhan, kehidupan, uji, bahkan tentang diri kita sendiri.

Waktu mengantar kita pada jarak terjauh penglihatan. Yang satu pada akhirnya berurai, berkeping dan menempuh jalan sendiri-sendiri. Juga kita yang belum sempat bernama. Guru bahasa Indonesia kita pernah menyebut dengan “Trio Macan”, tapi sungguh, aku tidak setuju. Kita lebih cantik dari itu. Kita “sahabat”, istilah klasiknya begitu.

Aku ingin bercerita tentang sesuatu yang tidak pernah kita temui di masa lalu. Ah, maksudku, bisa jadi pernah kita temui namun hati kita tidak cukup peka untuk tahu. Kita jiwa muda, cenderung berontak terhadap apa-apa yang sampai di telinga tapi tak sejalan dengan ingin. Selalu ada sangakalan, “kenapa harus begitu?” “kenapa bisa begini?” “perlukah kita menjaga jarak dan pandang? Setabu itu kah?” Seabrek pertanyaan lain tentu mengikut di belakangnya.

Semakin ke sini semakin kita tahu bahwa kita tidak selamanya menjadi satu. Semakin ke sini juga semakin kita mengenal apa-apa yang sebenarnya kita cari. Orang bilang “jati diri”. Dan kau tahu, semakin ke sini aku semakin mengenal diriku. Semakin tahu tentang sesuatu tersembunyi yang kucari-cari.

Beberapa orang tidak menyukai omongan-omongan yang sengaja didengarkan di kuping mereka. Dulu, kita begitu. Sekali pun berusaha mendengar tapi tak cukup usaha untuk istiqomah. Masuk kanan, tanpa singgah, keluar kiri.

Sesuatu berharga bisa hadir darimana saja. Tanpa kita duga kapan waktunya. Aku menemukannya lewat ucap dan sikap. Di sebuah malam teramat dingin di antara gunung-gunung batu. Teman-teman baru. Keluarga baru.

Dulu kita teramat biasa dengan campur baur. Berboncengan kesana-kemari. Tertawa keras dengan teman lelaki yang entah berapa banyaknya. Mengucap “hai” sambil menepok bahu. Dan, semuanya kita anggap biasa. Dalih kita, “Halah … jangan terlalu ekstrim lah, toh hati kita kan tidak.”

Malam itu aku menjadi sangat malu karena seorang teman lelaki (di sini kami menyebut teman lelaki dengan “ikhwah”) menegur akhwat-akhwat yang tertidur karena lelah. Dia bilang begini, “Afwan di’ … akhwatnya jangan tidur di situ karena jelek kidilihat ikhwah dari sini.” Betapa mereka menjaga hal-hal semacam itu. Dan, kita belum pernah mendengar teman-teman lelaki kita mengucap kalimat seperti ini, bukan? Ya … anggap saja di masa-masa itukita sedang labil-labilnya.

Dulu kita selalu takut pada laki-lakiyang menunduk saat berpapasan. Kita selalu mengoceh, “apa yang ada dalam kepala mereka?” Sungguh, aku malu pernah berpikir seperti itu. Ah, sudahlah …! Semua memang butuh proses dan yakin saja kalau Allah sedang mematangkan kita.

Istiqomah … semoga janji setelah tiga hari di antara gunung batu itu bisa tertepati. Semoga.

Sekarang, aku yakin, kita tak bingung lagi menjawab kapan dan darimana mestinya kita mulai? Sekarang. Detik ini juga. Dari hal terkecil dalam diri kita.

Rinduku untukmu, untukmu, untukmu dan untukmu biarlah pecah. Pada Ilahi … ada cinta yang buncah.

***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun