Cobalah Anda berangkat weekend ke daerah wisata seperti Lembang, Ciwidey, Punclut, Dago Atas, atau pusat kota Bandung. Sudah bisa dipastikan: macet parah. Antrean kendaraan mengular, dari pagi hingga malam. Bahkan, dalam beberapa kasus, waktu tempuh bisa dua kali lipat dari biasanya.
Sebagai warga lokal Bandung, saya jujur sudah merasa malas kalau harus bepergian di akhir pekan ke tempat-tempat seperti itu. Bukannya refreshing, yang ada malah stres duluan di jalan. Niat makan sate di Lembang, malah habis waktu di tanjakan Setiabudi. Mau cari kopi di Dago, malah duduk satu jam di parkiran mobil.
Sampai Jadi Headline Luar Negeri
Yang membuat situasi ini makin ironis adalah: kemacetan Bandung sudah jadi berita internasional.
Media luar seperti:
The Jakarta Post edisi internasional,
AsiaOne Singapura,
Forum diskusi seperti Reddit dan Quora,
telah membahas kemacetan Bandung dan menjadikannya contoh "urban congestion problem in mid-size cities".
Nama Bandung kini dikenal bukan karena wisata atau budayanya, tapi karena parahnya lalu lintas. Citra kota kreatif dan kota mode seakan tenggelam oleh deretan klakson dan kemacetan yang tak kunjung reda.
Solusi? Masih Panjang Jalannya