Ketika Kita Melupakan Lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut
Oleh Dikdik Sadikin
Â
22 Juni 2025. Kapal Hiu 01 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meringkus sebuah kapal ikan asing berbendera Malaysia di Selat Malaka. Kapal itu mencoba kabur, memotong jaring pukat harimau, dan membawa ratusan kilogram hasil tangkapan ilegal.
Sehari sebelumnya, dua kapal Filipina juga ditangkap di perairan Sulawesi Utara. Masing-masing beroperasi tanpa izin, melanggar hukum laut Indonesia, dan mencuri ikan dalam jumlah besar.
Namun ini bukan pertama kalinya. Akhir Mei 2025, dua kapal Vietnam juga diciduk di Laut Natuna Utara, wilayah yang selama ini menjadi ladang penjarahan ikan berskala besar.
Menurut laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Global Fishing Watch, tak kurang dari 100 kapal asing, mayoritas berbendera Vietnam, terdeteksi memasuki perairan ini setiap tahunnya.
Satu kapal Vietnam diperkirakan menyebabkan kerugian hingga Rp61 miliar per tahun. Maka potensi kerugian negara bisa mencapai lebih dari Rp6,1 triliun per tahun, belum termasuk kerusakan ekosistem akibat penggunaan pair trawl, alat tangkap yang merobek dasar laut dan menghancurkan terumbu karang.
Pencurian ini, ironisnya, terjadi di negeri yang sejak kecil mengajarkan anak-anaknya lagu "Nenek moyangku seorang pelaut", tetapi seperti kehilangan arah menuju lautan. Sesudah nyanyian itu usai, kita tumbuh besar dengan punggung membelakangi laut.
Di negeri yang 70 persen wilayahnya adalah laut, justru tanah yang lebih banyak diolah. Kita menjadi bangsa agraris di negeri yang lebih banyak airnya daripada tanahnya. Petani kita jauh lebih banyak daripada nelayan. Kota-kota besar kita - Jakarta, Bandung, Yogyakarta, bahkan Ibu Kota Nusantara yang baru - dibangun jauh dari tepian laut. Seolah lautan adalah sesuatu yang asing, atau lebih tepatnya: sesuatu yang ditinggalkan.
Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang lebih dari 108.000 kilometer. Laut kita menyimpan potensi lestari perikanan sebesar 12,5 juta ton per tahun, namun yang termanfaatkan baru sekitar 6,8 juta ton menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2023.
Padahal potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai Rp3.000 triliun per tahun, tapi kontribusinya terhadap PDB nasional baru sekitar 7,4%.Â
Bandingkan dengan Norwegia, negara kecil dengan garis pantai yang tak seberapa panjang, namun bisa mengekspor hasil laut lebih dari US$13 miliar per tahun, atau Jepang yang telah menjadikan laut sebagai jantung industrinya.
Sejarahnya pun seperti terlambat bangun. Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia baru lahir tahun 1999, di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, laut hanya urusan kecil sebatas direktorat di bawah kementerian pertanian, seolah ikan adalah sejenis sayuran air. Sebuah ironi yang panjang: negara yang katanya maritim, tapi institusi resminya baru dibentuk lebih dari 50 tahun setelah kemerdekaan.