Jepang di akhir 1980-an nyaris tak terbendung. Pasar saham Nikkei menyentuh 39.000 poin pada Desember 1989. Harga properti di Tokyo naik hingga 300% dalam satu dekade. Namun, kejayaan itu perlahan surut. Pada awal 1990-an, ekonomi Jepang stagnan. Deflasi kronis menggigit. Bank of Japan tak mampu menghidupkan kembali konsumsi. Dua dekade hilang bagi negeri yang pernah disebut akan "mengalahkan Amerika". Dan sampai kini ekonomi Jepang belum benar-benar pulih ke jalur produktif jangka panjang.
Korea Selatan juga sempat menikmati sinar terang. Pertumbuhan ekonominya di awal 1990-an mencapai 8--9% per tahun. Tapi pertumbuhan itu dibangun di atas utang jangka pendek dan ekspansi chaebol yang tak terkendali. Pada tahun 1997, ketika pasar keuangan Asia mulai runtuh, Korea Selatan tak siap. Won terdepresiasi lebih dari 50%. IMF turun tangan dengan bailout US$58 miliar, dan pengangguran melonjak tiga kali lipat.
Amerika Serikat adalah kisah kemakmuran yang lain. Setelah era dot-com, properti menjadi ladang panen. Kredit perumahan diberikan kepada siapa pun, termasuk debitur subprime yang sebenarnya rapuh. Pasar tumbuh pesat, lalu jatuh lebih cepat. Pada 2008, krisis subprime memicu runtuhnya Lehman Brothers. PDB AS anjlok 4,3% dan pengangguran mencapai 10%. Dunia pun ikut tenggelam dalam gelombang resesi global.
Semua peristiwa itu menandai satu hal: bahwa kemakmuran tak berarti abadi. Dalam dunia audit dan keuangan, inilah pelajaran paling sering dilupakan: bukan kelangkaan, tapi kelimpahan yang tak diwaspadai, sering menjadi asal bencana. Dan di situlah hukum hasil yang semakin menurun memainkan lakonnya: ketika tambahan yang diberikan bukan lagi memperbesar hasil, tetapi mempercepat kerusakan.
Xia Zhi adalah juga ladang, bukan hanya langit.
Di wilayah-wilayah agraris Tiongkok seperti Jiangsu dan Anhui, musim panas menandai fase kritis dalam pertumbuhan tanaman. Di saat-saat itu, daun berkembang cepat, batang menebal, dan akar menuntut lebih banyak air dan nutrisi. Itu lah saat petani harus mulai lebih berhati-hati. Salah dalam mengatur irigasi atau pemupukan pada titik ini, kata Agricultural Science Journal (2020), bisa memangkas hasil panen hingga 38%. Maka musim panas bukanlah pesta, melainkan kerja penuh perhitungan dan pengendalian.
Namun, Xia Zhi tak pernah dirayakan meriah. Â Ia tak sepopuler Qingming yang mengenang arwah, atau Duanwu yang menyajikan perahu naga dan zongzi. Â Ia hadir dengan segala krendahan hati: dalam semangkuk mi dingin, telur asin, irisan timun, dan istirahat siang.
Di Tiongkok Selatan, peringatan itu diasosiasikan dengan jantung dan elemen api. Tubuh diminta tidak memberontak pada panas, melainkan berdamai dengannya. Disarankan: tidur agak lebih malam dari biasanya, dan bangun lebih pagi. Banyak minum air, hindari makanan berminyak dan emosi berlebihan. Nasihat itu terdengar kuno, tapi lebih sehat daripada promo all you can eat.
Xia Zhi, sebagaimana tanggal 21 Juni yang ia wakili, adalah titik puncak sekaligus titik balik.Â
Ia mengingatkan kita, bahwa dalam terang pun, ada kegelapan yang membayang. Bahwa dalam setiap kesuksesan, ada benih keruntuhan. Tapi justru di situlah harapan bisa tumbuh. Bukan dari kemenangan, melainkan dari kesadaran akan batas.
Mungkin karena itu, lukisan Xia Zhi selalu menampilkan teratai. Bunga yang mekar di lumpur, tapi tak pernah mengotori dirinya. Di antara ikan koi dan daun lebar, ia berdiri. Tenang dan tak tergoda musim.