Saat sesi peluncuran buku, giliran Marc Macleod dari Australia, Jumat 9 Mei 2025, di Bagindo Azis Chan Youth Center, Padang. Â (Sumber: Dokumen Pribad

IMLF 3: Ketika Literasi Mengalahkan Bisingnya Mesiu
Oleh Dikdik Sadikin
"Puisi tak bisa menghentikan peluru. Tapi kadang ia bisa menunda peluru berikutnya."
Victor A. Pogadaev, seorang penerjemah Rusia, terjebak di Bandara Internasional Sheremetyevo, Moskow. Ia hendak terbang ke Indonesia menuju Padang pada 7 Mei 2025 lalu, ketika serangan drone Ukraina tiba-tiba saja  mengguncang Moskow. Atas perintah berwenang di sana, ia dan para calon penumpang terpaksa menunda keberangkatannya. Padahal Victor ditunggu-tunggu kehadirannya di Tanah Minang. Dia lah penerjemah puisi-puisi Chairil Anwar ke dalam bahasa Rusia dalam antologi puisi berjudul "Pokoryat Vishinu" (Bertakhta di Atasnya), yang diterbitkan di Moskow oleh penerbit Klyuch-C pada tahun 2009.
Sementara itu, seorang penyair dari India menangis diam-diam di lobi sebuah hotel di Kota Padang, mengenang tanah airnya yang kembali memanas oleh konflik dengan Pakistan. Dan dunia pun terasa rapuh, seperti halaman buku tua yang hampir lepas dari jilidnya.
Dunia memang tidak sedang baik-baik saja. Dentuman mesiu terdengar dari Donetsk yang menghitam oleh perang, hingga Delhi yang dirundung kabut ketegangan. Dari Kashmir yang meradang, hingga Gaza yang tak kunjung reda.
Namun, pada saat yang sama, di Padang dan Bukittinggi, di antara Jam Gadang dan Goa Kelelawar, di antara Mesjid Raya dan rumah puisi Taufik Ismail, Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3 (IMLF 3)Â digelar.Â
Di ranah Minang, yang diwarisi pepatah alam takambang jadi guru, para penyair, sastrawan, dan pemikir dari 24 negara, memilih untuk membaca puisi, bukan menghitung amunisi. Mereka berkumpul sejak Kamis 8 hingga Senin 12 Mei 2025 untuk merayakan sesuatu yang nyaris tak terdengar: literasi. Bukan sebagai senjata, melainkan sebagai jembatan.
Tema IMLF 3 mengandung paradoks yang indah: Language, Literature, and Culture for Peace. Sebuah paradoks yang paling puitis. Saat negara-negara besar saling unjuk kekuatan dengan peluncur senjata, sebuah provinsi kecil di barat Indonesia justru menunjukkan bahwa kekuatan bisa juga datang dari kata-kata.
"Puisi tak bisa menghentikan peluru," kata seorang bijak. "Tapi kadang ia bisa menunda peluru berikutnya."
Sastri Bakry, pemimpin Satu Pena Sumatera Barat, seperti tengah mewujudkan pernyataan itu. Di tangannya, IMLF 3 bukan sekadar festival. Ia adalah semacam doa yang dijahit dari puisi, seminar, musik, dan jamuan bajamba. Sebuah ritual modern yang memadukan aksara dan adat, intelektualitas dan kuliner.
Lebih dari 200 peserta dari Malaysia, India, Jepang, Australia, Rusia, Prancis, Kroasia, Kurdistan, Bangladesh, Brunei Darussalam, Singapura, Vietnam, Inggris, Tunisia, Swiss, Spanyol, Bulgaria, Italia, Cyprus, Slovenia, Tiongkok, dan beberapa negara lagi, datang membawa bukan hanya karya, tapi beberapa di antaranya juga luka-luka dari negeri mereka masing-masing. Dan Sumatera Barat menerimanya dengan nasi kapau, tari piring, dan percakapan tanpa prasangka. Mungkin inilah bentuk lain dari diplomasi: yang tak melibatkan para ahli strategi, tapi melibatkan penyair, pelukis, dan penyanyi.