Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

IMLF 3: Ketika Literasi Mengalahkan Bisingnya Mesiu

10 Mei 2025   08:15 Diperbarui: 10 Mei 2025   08:31 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster untuk Sesi Kegiatan IMLF3 di Bukit Tinggi, Minggu 11 Mei 2025.

Saat sesi peluncuran buku, giliran Marc Macleod dari Australia, Jumat 9 Mei 2025, di Bagindo Azis Chan Youth Center, Padang.   (Sumber: Dokumen Pribad
Saat sesi peluncuran buku, giliran Marc Macleod dari Australia, Jumat 9 Mei 2025, di Bagindo Azis Chan Youth Center, Padang.   (Sumber: Dokumen Pribad

IMLF 3: Ketika Literasi Mengalahkan Bisingnya Mesiu

Oleh Dikdik Sadikin

"Puisi tak bisa menghentikan peluru. Tapi kadang ia bisa menunda peluru berikutnya."

Victor A. Pogadaev, seorang penerjemah Rusia, terjebak di Bandara Internasional Sheremetyevo, Moskow. Ia hendak terbang ke Indonesia menuju Padang pada 7 Mei 2025 lalu, ketika serangan drone Ukraina tiba-tiba saja  mengguncang Moskow. Atas perintah berwenang di sana, ia dan para calon penumpang terpaksa menunda keberangkatannya. Padahal Victor ditunggu-tunggu kehadirannya di Tanah Minang. Dia lah penerjemah puisi-puisi Chairil Anwar ke dalam bahasa Rusia dalam antologi puisi berjudul "Pokoryat Vishinu" (Bertakhta di Atasnya), yang diterbitkan di Moskow oleh penerbit Klyuch-C pada tahun 2009.

Sementara itu, seorang penyair dari India menangis diam-diam di lobi sebuah hotel di Kota Padang, mengenang tanah airnya yang kembali memanas oleh konflik dengan Pakistan. Dan dunia pun terasa rapuh, seperti halaman buku tua yang hampir lepas dari jilidnya.

Dunia memang tidak sedang baik-baik saja. Dentuman mesiu terdengar dari Donetsk yang menghitam oleh perang, hingga Delhi yang dirundung kabut ketegangan. Dari Kashmir yang meradang, hingga Gaza yang tak kunjung reda.

Namun, pada saat yang sama, di Padang dan Bukittinggi, di antara Jam Gadang dan Goa Kelelawar, di antara Mesjid Raya dan rumah puisi Taufik Ismail, Festival Literasi Internasional Minangkabau ke-3 (IMLF 3) digelar. 

Di ranah Minang, yang diwarisi pepatah alam takambang jadi guru, para penyair, sastrawan, dan pemikir dari 24 negara, memilih untuk membaca puisi, bukan menghitung amunisi. Mereka berkumpul sejak Kamis 8 hingga Senin 12 Mei 2025 untuk merayakan sesuatu yang nyaris tak terdengar: literasi. Bukan sebagai senjata, melainkan sebagai jembatan.

Tema IMLF 3 mengandung paradoks yang indah: Language, Literature, and Culture for Peace. Sebuah paradoks yang paling puitis. Saat negara-negara besar saling unjuk kekuatan dengan peluncur senjata, sebuah provinsi kecil di barat Indonesia justru menunjukkan bahwa kekuatan bisa juga datang dari kata-kata.

"Puisi tak bisa menghentikan peluru," kata seorang bijak. "Tapi kadang ia bisa menunda peluru berikutnya."

Sastri Bakry, pemimpin Satu Pena Sumatera Barat, seperti tengah mewujudkan pernyataan itu. Di tangannya, IMLF 3 bukan sekadar festival. Ia adalah semacam doa yang dijahit dari puisi, seminar, musik, dan jamuan bajamba. Sebuah ritual modern yang memadukan aksara dan adat, intelektualitas dan kuliner.

Lebih dari 200 peserta dari Malaysia, India, Jepang, Australia, Rusia, Prancis, Kroasia, Kurdistan, Bangladesh, Brunei Darussalam, Singapura, Vietnam, Inggris, Tunisia, Swiss, Spanyol, Bulgaria, Italia, Cyprus, Slovenia, Tiongkok, dan beberapa negara lagi, datang membawa bukan hanya karya, tapi beberapa di antaranya juga luka-luka dari negeri mereka masing-masing. Dan Sumatera Barat menerimanya dengan nasi kapau, tari piring, dan percakapan tanpa prasangka. Mungkin inilah bentuk lain dari diplomasi: yang tak melibatkan para ahli strategi, tapi melibatkan penyair, pelukis, dan penyanyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun