"Cancel Culture": Pengadilan Maya dengan Keadilan yang Samar
Oleh Dikdik SadikinÂ
"Semakin tinggi seseorang naik, semakin besar angin yang akan menerpanya." --- Pepatah Lama
DI ERA DIGITAL, sebuah pengadilan tanpa hakim, tanpa meja hijau, dan tanpa kesempatan pembelaan telah muncul. Ia bekerja cepat, tanpa ampun, dan sering kali tanpa kejelasan kebenaran.
Palu vonisnya tak terdengar di ruang sidang, melainkan bergema melalui notifikasi, trending topic, dan boikot massal. Inilah cancel culture, fenomena yang menjelma menjadi pengadilan publik modern, di mana sebuah kesalahan---sekecil apa pun---dapat berujung pada kehancuran reputasi.
Namun, apakah cancel culture benar-benar bentuk keadilan sosial? Atau justru persekusi kolektif yang membunuh kebebasan berbicara?
Cancel Culture dan Akarnya di Indonesia
Cancel culture bukan sekadar mitos di negeri Barat. Ia telah berakar di Indonesia, meski dengan karakteristik yang berbeda.
Sebuah survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2023 menemukan bahwa 67% pengguna media sosial di Indonesia setuju bahwa seseorang yang melakukan kesalahan moral atau etika harus diboikot secara publik.
Fenomena ini tercermin dalam berbagai kasus:
1. Boikot terhadap figur publik dan produk
Es Teh Indonesia (2021): Sebuah kritik tentang kadar gula dalam produk mereka berujung hujatan luas di media sosial, menyebabkan perusahaan harus mengubah strategi komunikasi.