Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Worklife

"Cancel Culture": Pengadilan Maya dengan Keadilan yang Samar

16 Februari 2025   21:04 Diperbarui: 16 Februari 2025   21:11 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Freepik.com)


"Cancel Culture": Pengadilan Maya dengan Keadilan yang Samar

Oleh Dikdik Sadikin 

"Semakin tinggi seseorang naik, semakin besar angin yang akan menerpanya." --- Pepatah Lama

DI ERA DIGITAL, sebuah pengadilan tanpa hakim, tanpa meja hijau, dan tanpa kesempatan pembelaan telah muncul. Ia bekerja cepat, tanpa ampun, dan sering kali tanpa kejelasan kebenaran.

Palu vonisnya tak terdengar di ruang sidang, melainkan bergema melalui notifikasi, trending topic, dan boikot massal. Inilah cancel culture, fenomena yang menjelma menjadi pengadilan publik modern, di mana sebuah kesalahan---sekecil apa pun---dapat berujung pada kehancuran reputasi.

Namun, apakah cancel culture benar-benar bentuk keadilan sosial? Atau justru persekusi kolektif yang membunuh kebebasan berbicara?

Cancel Culture dan Akarnya di Indonesia

Cancel culture bukan sekadar mitos di negeri Barat. Ia telah berakar di Indonesia, meski dengan karakteristik yang berbeda.

Sebuah survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2023 menemukan bahwa 67% pengguna media sosial di Indonesia setuju bahwa seseorang yang melakukan kesalahan moral atau etika harus diboikot secara publik.

Fenomena ini tercermin dalam berbagai kasus:

1. Boikot terhadap figur publik dan produk

Es Teh Indonesia (2021): Sebuah kritik tentang kadar gula dalam produk mereka berujung hujatan luas di media sosial, menyebabkan perusahaan harus mengubah strategi komunikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun