Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Prabowo dan Erdogan: Diplomasi Dua Pemimpin Berlatarbelakang Militer

12 Februari 2025   11:56 Diperbarui: 12 Februari 2025   14:02 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden Turkiye, Recep Tayyip Erdogan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (11/2/2025) malam. (Foto: Tim Media Prabowo Subianto via kompas.com)

"Ada dua hal yang tidak pernah berubah dalam sejarah: perubahan itu sendiri dan mereka yang menentangnya."--- Yuval Noah Harari

Maka ketika Recep Tayyip Erdoĝan menjejakkan kaki di Halim Perdanakusuma, kita tak sekadar menyaksikan kunjungan kenegaraan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar. 

Ini adalah pertemuan dua negara yang, dalam perjalanannya, terus mencari jati diri di tengah pusaran politik global. Indonesia dan Turki, dua negeri yang sama-sama mengklaim dirinya sebagai kekuatan Islam moderat, berhadapan dengan dunia yang tak pernah tinggal diam.

Prabowo Subianto menyambutnya dengan hangat. Dua sosok ini punya kesamaan: berlatar belakang militer, pernah menjadi oposisi, lalu naik ke puncak kekuasaan dengan janji perubahan. 

Erdoğan datang membawa agenda yang padat---kerja sama ekonomi, pertahanan, dan, tentu saja, geopolitik. Tetapi ada satu topik yang menyatukan keduanya lebih dari yang lain: Gaza.

"Kebebasan bukanlah sesuatu yang diberikan; itu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan."--- Noam Chomsky

Sejak awal kepemimpinannya, Erdoğan telah menjadikan pembelaan terhadap Palestina sebagai bagian dari diplomasi Turki. Ia bukan hanya berbicara, tetapi bertindak. Ankara memutuskan hubungan dagang dengan Israel sebagai protes atas pembantaian di Gaza, sebuah langkah yang jarang dilakukan oleh negara-negara besar.

Sementara itu, Indonesia, meskipun tetap bersuara lantang di forum internasional, memilih pendekatan yang lebih lunak. Kita menolak normalisasi dengan Israel, mendukung Palestina di PBB, tetapi sejauh ini, belum ada tindakan konkret yang menyamai langkah Turki.

Padahal, kita pernah memiliki pemimpin yang tak ragu-ragu menyatakan sikapnya. Bung Karno dengan tegas berkata, "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel." Kini, zaman berubah, dan pendekatan diplomasi Indonesia pun tampak lebih berhati-hati.

Tetapi pertemuan ini bukan hanya soal Palestina. Ada hal lain yang bisa dipelajari dari Turki---terutama dalam bagaimana sebuah negara menegaskan dirinya di kancah internasional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun