Mohon tunggu...
Dika Irawan
Dika Irawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hati-hati bisa berhenti mendadak. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Calon Pengantin Wanita Pilihan VOC

26 Mei 2013   18:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:59 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13695684871518612058

[caption id="attachment_245516" align="alignnone" width="300" caption="ilustrasi"][/caption] Penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama tiga abad lebih, telah menyimpan banyak cerita yang panjang, tak terkecuali bagi kaum hawan negeri kincir angin itu. Kedatangan mereka tak lebih untuk mempermulus proses kolonialisasi di Nusantara.

Sekitar abad 17, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) meminta kepada pimpinannya di Belanda agar mendatangkan wanita-wanita dari sana untuk ke Nusantara. Nantinya wanita ini akan dinikahkan dengan pria-pria Belanda. Sebab kondisi riil yang terjadi pada saat itu banyak pria Belanda yang liar dan gemar memelihara wanita Asia. Setidaknya ketika  nantinya dinikahkan pria-pria tersebut dapat hidup teratur, mempunyai hubungan yang sah, dan memiliki keluarga.

Ternyata, harapan tidak sesuai kenyataan. Wanita yang didatangkan berasal dari kalangan bawah yang serba pas-pasan. Bahkan untuk bayar ongkos pun mereka tak punya. Wanita- wanita ini pun dinamai anak gadis Kompeni, suatu sebutan yang merendahkan. Akhirnya VOC pun tak mau pusing, mereka pun dipaksa menikah dengan mahar kawin yang rendah dengan orang yang belum mereka kenal. Dapat diterka usia pernikahan mereka tak bertahan, banyak dari mereka yang menyeleweng dan gemar minum-minuman keras.

Tak mau gagal untuk kedua kalinya,  Jan Pieterszoon Coen, gubernur jenderal yang memerintah pada 1618-1623, meminta kepada pimpinan VOC yang berada di Belanda agar terlebih dahulu menyeleksi wanita yang akan dikirim. Coen menginginkan wanita-wanita yang dikirim adalah wanita terhormat berasal dari keluarga yang baik. Kemudian dengan sangat memohon agar tidak mengirimkan wanita-wanita tipe sebelumnya.

Segera VOC merespon dan mengabulkan permintaan gubernur jenderal yang terkenal kejam itu. Di negeri Belanda mereka mulai menjaring, mengumpulkan dan mencari wanita yang baik dan terhormat, sesuai keinginan coen untuk diikutkan berlayar ke Nusantara. Selama perjalanan di kapal, wanita-wanita itu diawasi istri-istri dari pegawai rendahan VOC yang ikut berlayar bersama suaminya.

Sementara itu, ada pula wanita yang diam-diam menyamar menjadi serdadu atau selasi kapal untuk ikut berlayar tanpa seizin VOC. Seperti yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1675, tertulis register penumpang di kapal sebanyak 289 jiwa. 156 pelaut, 119 militer, 6 wanita, kemudian dintara serdadu ada dua wanita yang menyamar.

Sebagai proyek keluarga percontohan, JP Coen memulai dari dirinya sendiri. Dia terlebih dahulu mendatangkan seorang wanita istrinya, yang bernama Eva Ment beserta adik perempuannya. Eva tiba di Batavia pada 27 September 1627,   dari negeri kincir angin bersama adik perempuannya ke Batavia.

Ketika menetap di Batavia baik pria maupun wanita, mereka tetap mempertahankan kebiasaannya di Eropa, dari tatacara berbusana sampai kebiasaan makan. Tapi kebiasaan tersebut dikalahkan oleh pergundikan dan perbudakan sebuah kebiasaan yang tak pernah mereka lakukan di negerinya sendiri,

Di sisi lain wanita pribumi mengalami nasib yang lebih pahit. Mereka sering dijadikan sebagai gundik, istri tidak resmi atau perempuan piaraan. Ada pula yang dijadikan Nyahi, sebutan bagi seorang perempuan pengatur rumah tangga serta juga milik dari orang pria Eropa. Terhadap wanita pribumi, pria Belanda lebih suka menjadikannya gundik ketimbang menikahkannya.Dengan terpaksa pria Belanda harus membangun rumah tangga bersama gundiknya. Tugas nyahi hanyalah mengurus rumah tangga dan pemuas nafsu tuan-tuannya.

Anak-anak yang lahir dari hubungan yang gelap ini, berdarah campuran atau biasa dinamakan Indo, kependekan dari Indo-Eurpeaan, mereka adalah anak yang tidak diinginkan. Sehingga pada tahun 1915 pemerintah membuat Balai Kelesamatan yang sengaja didirikan untuk menampung anak-anak itu. Sebab masyarakat di kampung-kampung enggan menerima anak ini, karena dianggap aib.

Begitulah cerita wanita Belanda pada masa kolonial. Setidaknya mereka lebih baik bila dibandingkan dengan wanita pribumi. Nyatanya, pemerintah kolonial membiarkan pergundikan meraja lela, sebuah tindakan yang sangat merampas hak-hak kaum hawa. Namun tak jauh berbeda jika melihat program pemerintah kolonial yang mendatangkan wanita Belanda hanya untuk dinikahkan dengan pegawai-pegawai VOC yang kesepian. Datang bukan sebagai tenaga terampil melainkan alat memperlancar kolonialisasi.

(Referensi: Capt. R.P Suyono,Seks dan Kekerasan pada zaman Kolonial Penelusuran Kepustakaan Sejarah, Grasindo Jakarta 2005.Berndard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, KPG Jakarta 2008.)

dikutip dari: www.legoso.co

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun