Bab 9 - Frame Pertama untuk Diana, Sebelum Aku Menjadi Miliknya
Memasuki kelas tiga, segalanya menjadi lebih serius. Suasana sekolah terasa seperti ladang ujian yang harus dilintasi hati-hati. Tapi jujur saja, pikiranku sering tak benar-benar ada di ruang kelas. Tubuhku mungkin duduk di bangku barisan belakang, tapi jiwaku lebih sering menetap di lab komputer.
Aku lebih nyaman di sana—tempat layar berkedip, suara kipas komputer berdengung pelan, dan waktu terasa berjalan tanpa beban. Di situlah aku merasa berharga. Di antara kabel, kamera, dan software desain, aku bisa menunjukkan siapa diriku. Bukan siswa biasa, tapi anak yang tumbuh dari keterbatasan dan memilih untuk tetap menyala.
Namun, dunia tak selamanya hanya berputar pada layar dan lensa.
Suatu hari, guru pelajaran videografi masuk kelas dengan sebuah pengumuman penting. Kami diberi tugas untuk membuat video film pendek dan satu dokumenter, dan harus membentuk kelompok kerja sendiri. Sebuah tugas yang menyenangkan sekaligus menantang—ini bukan soal nilai semata, tapi soal siapa yang bisa mengubah ide menjadi karya nyata.
Saat instruksi pembentukan kelompok diumumkan, kelas langsung riuh. Semua saling menarik sahabatnya masing-masing, sibuk memilih siapa yang bisa diandalkan.
Dan saat aku sedang berpikir hendak bergabung dengan siapa, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Diana… berdiri dari bangkunya… dan menghampiriku.
“Ayo bareng kelompok sama kamu,” katanya, pelan namun yakin.
Dunia seperti berhenti sepersekian detik. Aku yang biasanya harus pura-pura bertanya soal tugas hanya untuk bisa memulai obrolan dengannya, kini malah dia yang lebih dulu datang padaku. Pucuk dicinta, ulangan pun tiba. Dan yang lebih mengejutkan, dia tidak membawa teman perempuannya. Hanya dia, aku, dan dua teman bangkuku: Zen dan Egah.