Sore itu, matahari perlahan mulai menurunkan panasnya. Langit berangsur-angsur berubah menjadi jingga keemasan, pertanda waktu berbuka puasa semakin dekat. Kami, para karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan penjualan kendaraaan roda dua, telah membuat janji untuk berkumpul bersama di sebuah restoran jepang di mall baru di kota bekasi. Awalnya, ini hanya seperti acara buka bersama (bukber) biasa, sekadar ajang berkumpul melepas kerinduan, moment yang selalu ditunggu, makan bersama (bukber) di bulan Ramadan. Namun, sore itu ternyata memberikan pelajaran tentang excellent leadership (kepemmpinan yang luar biasa) yang tak terlupakan.
Ada kalanya kita merasa bahwa atasan hanyalah sosok yang hanya memberi perintah, mengawasi kinerja, dan sesekali memberikan teguran ketika ada kesalahan. Namun, hari itu, kami benar-benar belajar tentang kepemimpinan.
Semua bermula dari undangan kami kepada beliau, atasan kami. Beliau adalah seorang pemimpin yang terkenal tegas tapi tetap ramah. Meski begitu, saya dan teman-teman tidak pernah menduga bahwa beliau akan datang lebih awal ke lokasi bukber. Kami berniat akan datang datang lebih awal menunggu beliau. Biasanya, dalam acara seperti ini, atasan cenderung datang terakhir, mungkin karena kesibukan atau sekadar ingin menjaga "status" sebagai pemimpin yang selalu ditunggu-tunggu. Tapi kali ini, ceritanya berbeda.
Ketika pada saat waktunya tiba saat yang kami janjikan, kami agak terkejut, beliau telah tiba di tempat yang telah dijanjikan. Beliau telah melakukan reservasi untuk kami. Beliau telah menunggu kami.
"Udah nyampe neh, hayo jalan, entar macet," begitu pesan singkatnya.
Apa yang membuat momen itu semakin istimewa adalah cara beliau berinteraksi dengan kami. Beliau memilih duduk di tengah-tengah kami, berbaur tanpa batas formalitas. Ia tertawa saat mendengar candaan rekan-rekan kerja, ikut mengomentari masing-masing dari kami, bahkan beliau sendiri yang mengambil video dan foto kami lalu mebagikannya di grup media sosial kami.
Kami merasa dihargai. Tidak ada lagi jarak antara atasan dan bawahan. Yang ada hanyalah sekelompok manusia yang saling berbagi cerita dan tawa. Di mata saya, bukan lagi sekadar bos. Ia adalah layaknya orang tua kami, sekaligus sahabat yang bisa diajak bicara tanpa perlu merasa takut.
Namun, kejutan belum berakhir. Bon makanan kami, beliaulah yang membayarnya
Saat itu juga, saya merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam hati. Dia menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan tentang dominasi atau kekuasaan, melainkan tentang pengabdian. Pemimpin yang baik adalah mereka yang rela berkorban demi kebahagiaan timnya.
Pelajaran yang Tak Terlupakan
Setelah acara tersebut, saya pulang dengan perasaan yang berbeda. Pikiran saya dipenuhi oleh banyak pertanyaan: Apakah saya bisa menjadi pemimpin seperti beliau kelak? Apakah saya bisa membangun hubungan yang erat dengan tim tanpa harus terpaku pada hierarki? Dan yang paling penting, apakah saya bisa menghargai orang-orang di sekitar saya seperti beliau menghargai kami?
Cerita ini sebenarnya bukan hanya relevan di dunia kerja, tapi juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam keluarga, seorang ayah atau ibu bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya dengan cara-cara yang sederhana. Datang lebih awal untuk menyiapkan makan malam, mendengarkan cerita anak dengan penuh perhatian, atau bahkan turun tangan membantu pekerjaan rumah, semua itu adalah bentuk kepemimpinan yang tulus.