Beberapa mengkritik pernyataan SDD tersebut sebagai sebuah bentuk kerancuan, bahkan pengingkaran terhadap puisi-puisinya sendiri.
"Akibat membangun tembok tanpa tahu kaidah. Temboknya selesai dibangun dan memang menjadi tembok (berfungsi sebagai pembatas), tetapi hasilnya jelek sekali," tulis Holly Adib, seorang jurnalis sekaligus pengamat bahasa melalui akun twitternya, @HolyAdib, ikut membalas postingan SDD.
Sementara di tempat lain, melalui akun Facebook-nya, penyair kuburan Binhad Nurrohmat juga menimpali postingan SDD. "Sapardi Djoko Damono dikenal lewat puisi yang liris dan imajis misalnya dalam buku puisinya Mata Pisau.Â
Kekuatan bunyi kata dan imaji dominan dalam puisinya. Bahkan Sapardi meyakini bahwa puisi adalah bunyi. Kaidah puisi dalam puisi Sapardi sangat formal ternyata. Sapardi tekun dan taat terhadap konvensi kaidah puisi. Puisinya merupakan buktinya."
Setali tiga uang, penyair Joshua Igho Purnomo juga ikut membalas postingan SDD. Melalui akun twitternya, @JoshuaIgho, ia menulis, "Puisi tanpa kaidah adalah kaidah itu sendiri. Karena kaidah berpuisi tidak semata mengacu pada disiplin bentuk seperti arsitektur."
Adapun mereka yang mencoba menerima pernyataan SDD, kebanyakan memakluminya jika maksud sebenarnya dari pernyataan SDD tersebut sekedar untuk memberi semangat kepada generasi muda agar tidak patah arang.Â
Toh, seperti disebutkan Binhad Nurrohmat di atas, penyair-penyair lain menganggap bahwa SDD sendiri sebenarnya memegang teguh kaidah dalam menulis puisi.
Jika memang benar bahwa pernyataan SDD lebih mengarah untuk memberikan semangat kepada generasi muda agar tidak gentar ataupun bingung untuk (mulai) menulis puisi, justru apa yang disampaikan SDD sangat berpotensi untuk disalahtafsirkan dan bahkan menyesatkan.Â
Terlebih pernyataan SDD disampaikan di ruang terbuka yang memungkinkan siapapun dan terutama yang tanpa bekal pengetahuan sastra sama sekali dapat menyimak dan menginterpretasikannya, dengan semau gue tentunya. Menelannya mentah-mentah.
Sebagaimana yang ditulis oleh seorang pemerhati sastra, Heru Joni Putra dalam sebuah postingan Facebook-nya. "Memberi semangat dan bicara soal kaidah adalah dua hal yang beda. Ketika seorang Guru Besar sastra mengatakan sastra tanpa kaidah (konon kabarnya demi memberi semangat anak milenial agar menulis!) tentu itu adalah pernyataan yang jelas-jelas menyesatkan, sama menyesatkannya ketika mengatakan hanya ada satu kaidah dalam menulis.Â
Pernyataan itu patut direspon karena yang bicara adalah sastrawan yang dianggap penting sekaligus Guru Besar sastra yang selama ini bertungkus-lumus dengan kaidah sastra. Hanya agar diterima oleh generasi milenial mengapa ia mau menyepelekan seperti itu. Ini gejala di mana-mana: hanya agar dipuja-puji oleh generasi milenial yang konon kabarnya tidak suka kerumitan, mengapa orang banyak yang beralih profesi menjadi penjual pepesan kosong?"
Kebebasan dalam Berpuisi
Ada yang menarik dari perdebatan para sastrawan terkait pernyataan SDD. Di antara mereka yang mengamini pernyataan SDD, menganggap bahwa apa yang dimaksud SDD dalam pernyataannya adalah sudah sesuai konteksnya.Â
Bahwa kita sebagai penulis puisi memang dibebaskan dari kaidah apapun. Justeru dari pengkajian terhadap karya puisi yang dihasilkan akan dapat tercipta atau ditemukan kaidah-kaidah baru.
Mengutip Atik Bintoro, seorang penyair yang juga teknokrat di bidang aerospace, dalam sebuah postingan di laman Facebook-nya, bahwa dalam dunia tulis-menulis, termasuk fiksi semacam sastra, terdapat 2 unsur yang membedakan antara satu tulisan dengan tulisan lain, yaitu substansi dan kaidah.Â