Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, memiliki potensi besar dalam pengembangan produksi jagung. Komoditas ini menjadi andalan masyarakat setempat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, produksi jagung mengalami penurunan dari 84.650 ton pada tahun 2020, menjadi hanya sekitar 53.000 ton pada tahun 2023.
Meski begitu, hadirnya Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika membawa harapan baru, tidak hanya dikenal sebagai destinasi wisata internasional, tetapi juga membuka peluang besar dalam pengembangan dan pemasaran komoditas pertanian, termasuk jagung dan berbagai produk turunannya.
Selain mendukung sektor pertanian, keberadaan kawasan ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, mempercepat pembangunan infrastruktur, dan meningkatkan fasilitas publik yang berperan langsung terhadap kegiatan ekonomi masyarakat.
Dukungan terhadap pengembangan komoditas jagung juga datang dari program I-Core yang diinisiasi oleh Bank Dunia. Program ini menjadi proyek percontohan di Lombok Tengah dalam  memperkuat ketahanan pangan dan meningkatkan kapasitas produksi jagung di sekitar kawasan Mandalika.
Sebagai salah satu komoditas unggulan, jagung memiliki pangsa pasar yang luas dan permintaan yang terus meningkat, baik di tingkat nasional maupun internasional. Namun demikian, produktivitas jagung di Lombok Tengah masih tergolong rendah dibandingkan dengan wilayah lain di Nusa Tenggara Barat.
Pada tahun 2023, produktivitas jagung di Lombok Tengah tercatat sebesar 56,92 kwintal per hektar lebih rendah dibandingkan rata-rata provinsi yang mencapai 68,07 kwintal per hektar. Bahkan pada tahun 2020, produktivitasnya hanya sekitar 36,71 kwintal per hektar, terendah di antara kabupaten dan kota lain di NTB yang rata-rata mencapai 60,58 kwintal per hektar.
Fluktuasi hasil produksi jagung di provinsi ini telah terjadi dalam dua dekade terakhir. Kondisi ini mendorong para petani untuk terus berupaya meningkatkan efisiensi usahatani agar mampu menghasilkan produksi yang maksimal.
Rendahnya produktivitas yang dihasilkan petani diduga disebabkan oleh beberapa faktor: mulai dari penggunaan input produksi yang belum optimal, kemampuan manajerial yang masih terbatas, hingga perbedaan karakteristik sosial ekonomi antarpetani.