Salah satu kegelisahan menjadi seorang guru atau pengajar adalah "dianut", yakni menjadi panutan bagi anak-anak didiknya. Tak hanya modal lisan, namun sepaket dengan ilmu dan etika. Akhir-akhir ini cukup terusik, pergolakan dimana guru diposisikan sebagai seseorang yang harus dianut dan dituntut. Bagaimana tidak, jika anak-anak didik menjadikan tindak-tanduk guru sebagai role model dalam berperilaku, disisi lain dapat juga disalahkan jika perilaku anak tak sesuai norma dan etika. Ujung-ujungnya guru juga yang dituntut. Maka tak salah jika guru dianugerahi penghargaan jobdesk rangkap.Â
  Bagai menyerahkan hak asuh anak, perilaku anak-anak didik seperti mutlak dipasrahkan kepada guru dalam hal akademik dan etika moral. Doktrin "tersirat" inilah secara tak sadar menjadi momok  bagi seorang guru untuk membatasi perilaku maupun tutur kata. Sesempurnanya makhluk bernama manusia, kesalahan tak luput dari keseharian. Nah.. kesalahan ini menjadi pemicu bagi kebanyakan anak didik maupun orang tua untuk mengoreksi bobroknya guru hingga lupa seperti apa pelajaran yang harus dipetik untuk diri sendiri.Â
  Begitupun dalam proses pembelajaran, sebagian orang tua terkadang menutup mata, seakan kecacatan moral dan etika seorang anak adalah tanggung jawab guru, maka orang pertama yang harus disalahkan adalah guru atau pengajar. Hal ini patut dijadikan refleksi bagi semua orang, guna mensinkronkan ucapan dengan perbuatannya, tak hanya bagi seorang guru, pun semua orang butuh terlibat dalam mengoreksi dirinya masing-masing.Â
  Menyelaraskan antara walk to talk memang sulit, bukan berarti tak bisa. Menyatukan ucapan dengan perbuatan merupakan hal basic yang krusial, bukan hanya berlaku bagi seorang guru atau orang berpengaruh sekalipun namun berlaku bagi semua makhluk bernama manusia. Teguran Allah sudah tersemat dalam hal ini: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan, amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan"  (QS Ash-Shoffat : 23). Â
  Kendati demikian, hal inipun tak pantas dijadikan tameng bagi seorang guru. Predikat guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa sudah semestinya memberikan contoh bagi bagi anak-anak didiknya. Mengimplementasikan semboyan pendidikan yang sudah mendarah daging bagi seorang guru, yakni Ing Ngarso Sun Tulodho (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karso (ditengah membimbing) memberikan semangat, memotivasi serta membangun situasi yang kondusif, serta Tut Wuri Handayani (dibelakang mendorong) memberikan dorongan moral.Â
  Terakhir ini, dorongan moral yang semestinya perlu perhatian khusus, terlepas dari berbagai latar belakang anak-anak didiknya. Perlu adanya kerjasama antara guru dan orang tua. Tak hanya berfokus pada pembelajaran akademik, namun juga penanaman konsep norma dan etika bagi setiap anak didik. Didukung dengan pengembangan diluar lingkungan sekolah dengan pengawasan orang tua. Proyek combo inilah yang nantinya menjadi dasar membangun generasi yang lebih baik. Jikapun salah satu pihak enggan memberikan effort-nya, terciptanya generasi yang tertata moralnya pun hanya angan-angan belaka.Â
  Guru memang seharusnya menjadi panutan, bukan tuntutan. Kembali lagi untuk menyelami apa esensi seorang guru dalam mengajar, terlepas dari kebutuhan pribadi. Menuntun, mengarahkan, memotivasi generasi mendatang adalah tantangan yang perlu dikerjakan bersama. Maka perlunya kesadaran dan komunikasi antara pengajar dan wali murid guna memajukan tujuan pembelajaran yang tak hanya tertinggal di ruang-ruang kelas, namun juga terbawa hingga masa mendatang untuk menciptakan generasi yang tangguh serta berbudi pekerti luhur.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI