Pagi hari... stasiun kecil kota ini telah ramai orang berlalu-lalang. Ada yang menunggu kereta, ada yang mengantar keluarga, ada yang mencari nafkah dan ada yang sekedar melihat-lihat. Pukul 05:45, keretaku datang dari arah timur. Bergegas aku naik dan mencari tempat duduk. Tempat duduk pinggir jendela adalah idaman kaum introvet, tak lupa ku keluarkan earphone dan memutar musik favorit. Memandang keluar jendela hamparan hijau nan segar, dingin dan menyenangkan. Sejujurnya aku tak terlalu suka kereta pagi, karena selalu ku habiskan untuk tidur disepanjang kereta. Namun kali ini berbeda, aku sibuk dengan pikiranku.Â
Sebentar lagi adalah waktu kelulusanku, selalu terselip mimpi-mimpi berani di kota perantauan, meninggalkan kota sendiri yang tertinggal. Mimpiku selalu cukup untuk diriku, tak terlalu besar namun juga tak cukup kecil. Mudah namun ternyata cukup sulit.Â
Hari-hariku selalu membara, sebenarnya aku tak siap untuk kembali. Nyalaku selalu asyik disini, bertemu dunia yang ingin ku simpan sendiri, meski pada akhirnya akan bergeser atau bahkan terhenti. Â Dunia seakan memberi tenggang waktu, menungguku bersiap untuk melangkahkan kaki pada fase yang baru. Dulu aku memohon agar lekas dewasa, karena iming-iming kebebasan aku sering lupa diri. Mungkin pada akhirnya takdir mengutukku untuk kembali, ia tertawa setiap kali aku menangis karena dewasa. Ia seperti tersenyum sinis dan berkata, "rasakan ! ini yang kau minta dulu". huftÂ
Sekarang aku menyadari bahwa aku terlalu terburu-buru, memiliki kehidupan yang aku sebagai peran utama ternyata cukup sulit. Harus ada figuran, sutradara atau bahkan takdir. Hidup tak hanya tentang menjadi dewasa, bekerja, menikah dan mempunyai keturunan. Hidup lebih dari itu, semacam persinggahan namun mencari jalan untuk bertahan. Dititik mana kita menemukan posisi ternyaman, dibagian mana kita menyadari maknanya secara perlahan.Â
Bagiku kembali menjadi salah satu hal yang menyeramkan, jika aku tak cukup nyali untuk membawa kesuksesan. Apakah buah tangan anak perantauan selalu tentang kesuksesan ? tidak pantaskah kembali untuk buaian ibu ? aku tidak mengerti.Â
Berkali-kali aku menyakinkan diri bahwa kelulusan adalah gerbang pertama, bukan akhir dari penjalanan. Jadi.. apakah aku tidak boleh menikmatinya ? menjalani hari-hari sebagai manusia lugu yang belum mengenal kerasnya bekerja, atau pendidikanku hanya boleh berorientasi dengan bekerja. Banyak orang disekitarku yang bekerja tidak sesuai keahliannya, jadi apakah kita memang tak diperbolehkan memilih ? memilih mau jadi apa kita nantinya.Â
Bisakah kita berhenti dari dikte orang lain, "mau jadi apa nanti kamu jika memilih jurusan ini ?". Mungkin ini sebuah kutukan, atau ketidakpercayaan diri penanya, menjadi sulit jika kita harus menelusuri napak tilas perjalanan hidup mereka, sungguh merepotkan.Â
Jadi, mampukah kamu menjalaninya ? jika mungkin mimpi itu tak terwujud atau terlambat datang padamu.Â
Tersadar.. teriak anak kecil itu membuyarkan lamunanku, "Yeyy... keretanya sudah sampai".Â
Aku bergegas turun sambil melirik jam ditanganku, "pukul 08:23, tidak terlambat". Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI