Mohon tunggu...
DICKY TAKNDARE
DICKY TAKNDARE Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pancasila itu Dasar Negara, Bukan Sekadar Pilar Bangsa

1 Juni 2017   06:48 Diperbarui: 1 Juni 2017   07:32 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini sebelumnya sempat saya tuliskan di wall Facebook saya sebagai bentuk respon terhadap gonjang-ganjing kondisi sosial dan politik di Indonesia dewasa ini yang cenderung semakin jauh dari nilai-nilai luhur bangsa sebagaimana dicita-dicitakan oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia dahulu. Sengaja tulisan ini dituliskan kembali di Kompasiana dengan maksud memperingati hari kelahiran dasar negara kita Indonesia yaitu Pancasila pada tanggal 1 Juni 2017. 

Sebagai anak bangsa yang merasa turut bertanggung jawab terhadap kelangsungan dan eksistensi bangsa dan negara, merupakan suatu kewajiban bagi kita untuk selalu melakukan introspeksi dan mengoreksi gerak langkah kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada tahun 2017 ini sudah memasuki usia 72 tahun.  

Kondisi carut-marut perpolitikan NKRI saat ini adalah akibat logis dari kebebasan berlebih-lebihan yang terjadi sejak dimulainya era reformasi tahun 1998. Ibarat kuda yang lama dikekang di era Orde Baru berakibat liarnya kebebasan yang dinikmati setelah adanya perubahan. Reformasi menciptakan pandangan bahwa kebebasan yang dimiliki adalah bebas sebebas-bebasnya yang bahkan sudah menjurus radikal dan menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa.  Kebebasan salah kaprah yang oleh Bung Besar Sukarno, sang penggali Pancasila, disebut bebas yang awut awutan, zonder pardon zonder permisi... Ambisi para politikus yang kuat untuk berkuasa memunculkan perrsaingan dan pertarungan yang tidak lagi sehat dan tak menarik untuk disimak. Ibarat  permainan sepak bola di lapangan, tiada lagi permainan cantik bermutu yang layak ditonton selain pertarungan kasar yang bertujuan mencelakakan lawan tanding. Itulah fakta kondisi masyarakat Indonesia saat ini. 

Indonesia semakin tidak toleran. Indonesia semakin terbagi antara upaya hegemoni mayoritas untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya ditengah terjepitnya kaum minoritas. Indonesia yang masih menyimpan dendam rasial warisan kolonial yang dijadikan komoditi politik untuk mendiskreditkan suku dan ras tertentu. Indonesia yang bukannya bertobat malah semakin terjerembab dalam dosa korupsi yang memperkaya segelintir perampok harta negara dan memiskinkan masyarakatnya. 

Yang semakin jauh dari sikap saling menghargai diantara perbedaan.  Indonesia yang semakin materialistik dan hedonis. Indonesia yang semakin individualistis dan perlahan melupakan gotong royong, tradisi mulia peninggalan nenek moyang. Indonesia yang asyik menjadikan agama yang suci sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. Indonesia yang mulai melupakan falsafah kehidupan bangsanya yaitu Pancasila.  Itulah Indonesia yang diperjuangkan dengan cucuran keringat, darah dan air mata oleh para pejuang dan pahlawan bangsa. Oleh Bung Karno yang Islam dan Jawa, oleh Bung Hatta yang Islam dan Minang, oleh Dr. Leimena yang Protestan dan Maluku, oleh Agustinus Adisucipto yang Jawa dan Katolik, oleh I Gusti Ngurah Rai yang Hindu dan Bali, dan oleh segenap para pahlawan  yang tidak pernah berpikir mengenai darimana dirimu, apa ras dan sukumu serta apa agamamu ketika berjuang melawan penjajah. 

Jika mencari sebab musabah carut-marutnya kondisi bangsa Indonesia saat ini maka akan terpampang jawaban bahwa semuanya terjadi karena kita mulai meninggalkan dan melupakan Pacasila sebagai falsafah bangsa, sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai ideologi negara.  Kebebasan dan trauma masa lalu di era otoritarian rezim Orde Baru menjadi alasan untuk membenarkan bahwa Pancasila tidak perlu masuk ke dalam kurikulum belajar sejak sekolah dasar sampai ke universitas. 

Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sudah lama menjadi kenangan. Kebebasan memunculkan gerakan-gerakan intoleran yang dengan kekuatan massa berusaha memaksakan agenda-agenda politiknya. Kebebasan menjadi landasan munculnya ideologi lain yang berusaha menyingkirkan Pancasila. Kebebasan menjadi pembenaran terhadap manuver-manuver politik yang kotor dan merusak. Kebebasan juga menjadi alasan berbagai tindakan tidak tahu malu atau tindakan amoral dalam penegakan hukum sehingga keadilan sosial hanya ibarat mimpi sang pungguk yang merindukan bulan.

Selain daripada itu, Pancasila turut dilemahkan dengan munculnya konsep berpikir mengenai 4 pilar kebangsaan di era reformasi yang terdiri dari unsur-unsur Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar kebangsaan ini adalah suatu kesalahan atau kekeliruan pikir (the fallacy of thought) karena menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan yang kedudukannya sama atau setara dengan pilar-pilar lainnya. Bagaimana mungkin terjadi bahwa Pancasila yang adalah falsafah bangsa, dasar negara Indonesia malah didudukan sebagai pilar saja? PANCASILA adalah FONDAMEN / DASAR NEGARA NKRI, bukan sekedar pilar bangsa. 

Seumpama Indonesia adalah suatu konstruksi bangunan maka Pancasila adalah fondamennya. Jika ada pilar yang patah maka bangunan masih bisa berdiri dengan topangan pilar-pilar lainnya, namun jika fondamen bangunan dihilangkan maka runtuhlah konstruksi bangunan tersebut. Berusaha untuk menghilangkan Pancasila sama dengan meruntuhkan NKRI.  Sangat perlu untuk dicermati bahwa sejak awal berdirinya NKRI, Pancasila adalah dasarnya, fondamennya, bukan sekedar pilar atau salah satu pilarnya! Baik UUD 1945, NKRI maupun Bhineka Tunggal Ika, semuanya berada dalam konteks Pancasila. Semuanya terangkum di dalam Pancasila serta semuanya bersumber dan berdiri diatas dasar Pancasila. Dengan demikian, Pancasila tidak bisa disejajarkan dengan pilar-pilar ini. Pancasila berada diatasnya dan mendasari semuanya.

Dalam perjalanan sejarah, Pancasila sudah berkali-kali hendak diganti dengan ideologi lain namun selalu gagal. Pemberontakan RMS, Permesta, DI/TII, Pemberontakan PKI sebanyak 2 kali serta upaya-upaya kelompok tertentu yang ingin merubah Pancasila selalu mendapat perlawanan dari masyarakat Indonesia yang majemuk namun ingin bersatu dalam kerangka NKRI. Memang, dalam prakteknya, Pancasila belum dapat diimplementasikan secara penuh, namun hal ini tidak dapat menjadi alasan bagi bangsa Indonesia untuk mengabaikan dan meninggalkan Pancasila karena sila-silanya benar-benar merupakan cerminan karakteristik bangsa Indonesia yang utuh.  

Mungkin kita tidak menyadari bahwa the fallacy of thought yang menempatkan Pancasila sebagai sekedar salah satu pilar kebangsaan secara gradual merongrong dan melemahkan Pancasila karena mungkin saja dapat muncul pemikiran bahwa tanpa Pancasila pun, karakteristik kebangsaan kita akan tetap berdiri. Sekali-kali tidak! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun