Mohon tunggu...
Diky
Diky Mohon Tunggu... Mahasiswa

My hobbies are playing football and fishing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

80 Tahun Indonesia: Sunyi dalam Bayang-Bayang

27 Juli 2025   14:42 Diperbarui: 27 Juli 2025   14:42 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 80 tahun indonesia hidup di bayang bayang

Delapan puluh tahun sudah Indonesia berdiri tegak di atas tanah air yang tercinta. Namun, di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit dan hiruk pikuk modernisasi, ada sebuah kesunyian yang mengendap dalam. Sebuah sunyi yang tak terdengar oleh telinga, namun terasa oleh jiwa bangsa ini.

Sunyi di Tengah Hiruk Pikuk
Pernahkah kita berhenti sejenak dari kesibukan sehari-hari dan bertanya: "Kemana perginya suara hati nurani bangsa?" Di jalanan Jakarta yang macet, di sawah-sawah yang kian tergusur pembangunan, di sudut-sudut kampung yang terlupakan, ada kesunyian yang berbisik tentang jati diri yang mulai kabur.

Indonesia hari ini seperti seorang kakek yang duduk di teras rumah, menatap cucu-cucunya yang asyik bermain gadget. Ia rindu akan cerita-cerita lama, nilai-nilai yang dulu menjadi pegangan, dan kehangatan kebersamaan yang kini tergantikan oleh dinginnya layar digital.

Kesunyian ini bukan sekadar metafora. Ia terasa nyata ketika kita melihat anak-anak yang lebih fasih berbahasa Inggris daripada bahasa daerah mereka sendiri. Ketika lagu-lagu tradisional hanya terdengar di pertunjukan pariwisata, bukan lagi di rumah-rumah penduduk. Ketika filosofi hidup leluhur hanya menjadi pajangan di museum, bukan lagi pedoman hidup sehari-hari.

Bayang-Bayang Masa Lalu yang Tak Kunjung Pergi
Delapan dekade perjalanan bangsa ini tidaklah mulus. Ada luka-luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh. Ada bayang-bayang kelam yang masih mengikuti langkah kita. Dari tragedi 1965 yang meninggalkan trauma mendalam, konflik horizontal yang memecah belah, hingga korupsi yang menggerogoti sendi-sendi negara.

Luka yang Tak Kunjung Mengering
Tragedi 1965 bukan sekadar catatan sejarah yang menguning. Ia adalah luka terbuka yang hingga kini masih berdarah. Jutaan keluarga masih menanggung stigma, anak-anak tumbuh dengan beban dosa yang tak pernah mereka lakukan. Ada generasi yang tumbuh dalam ketakutan, tidak berani bersuara, tidak berani bermimpi.

Di Aceh, bekas konflik masih meninggalkan jejak trauma. Janda-janda perang masih menunggu keadilan. Anak-anak yatim piatu masih mencari identitas ayah mereka yang hilang dalam pusaran kekerasan. Di Papua, pertanyaan tentang keadilan dan pengakuan hak masih bergema di pegunungan dan lembah.

Korupsi: Kanker yang Menggerogoti
Korupsi di Indonesia bukan sekadar angka dalam laporan KPK. Ia adalah kanker yang telah menyebar ke seluruh tubuh bangsa. Ketika seorang guru harus menyuap untuk menjadi PNS, ketika seorang mahasiswa harus membayar "uang pelicin" untuk mendapatkan ijazah, ketika seorang petani harus menyogok untuk mendapatkan pupuk bersubsidi - di situlah korupsi membunuh karakter bangsa perlahan-lahan.

Generasi muda tumbuh dengan menganggap korupsi sebagai hal yang wajar. "Yang penting bisa, tidak peduli caranya," menjadi mantra yang mengikis nilai-nilai kejujuran. Pancasila yang dulu diagungkan kini hanya menjadi hafalan kosong tanpa makna.

Generasi yang Kehilangan Akar
Anak-anak muda Indonesia hari ini tumbuh dalam dunia yang serba instant. Mereka lebih mengenal K-Pop daripada keroncong, lebih hafal nama-nama artis Hollywood daripada pahlawan nasional. Bukan salah mereka, tetapi ini adalah cerminan dari bagaimana kita sebagai bangsa kehilangan kemampuan untuk mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi penerus.

Krisis Identitas di Era Digital
Media sosial telah menciptakan realitas parallel dimana anak-anak muda Indonesia hidup. Mereka lebih nyaman mengekspresikan diri dalam bahasa Inggris campur Indonesia, mengikuti tren global tanpa memahami konteks budaya lokal. Instagram dan TikTok menjadi guru kehidupan mereka, bukan lagi orang tua atau guru di sekolah.

Ketika seorang remaja di Yogyakarta lebih mengenal McDonald's daripada gudeg, ketika anak muda di Bali lebih familiar dengan Starbucks daripada warung kopi tradisional, di situlah kita kehilangan sesuatu yang berharga. Bukan karena globalisasi itu buruk, tetapi karena kita tidak cukup kuat dalam mempertahankan identitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun