Mohon tunggu...
Diky
Diky Mohon Tunggu... Mahasiswa

My hobbies are playing football and fishing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena 'Hyper-Singer': Ketika Sendiri Bukan Lagi Status, Tapi Gaya Hidup

21 Juli 2025   15:09 Diperbarui: 21 Juli 2025   15:09 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika sendiri bukan lagi status, tapi gaya hidup (sumber foto: Diky/Artificial intelligence)

Di era modern ini, status "sendiri" atau single tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus segera diakhiri dengan hubungan asmara atau pernikahan. Muncul sebuah fenomena sosial yang menarik perhatian para sosiolog, psikolog, bahkan media populer, yaitu hyper-single. Fenomena ini menggambarkan individu yang dengan sadar memilih untuk hidup sendiri---tidak karena kesulitan mencari pasangan, melainkan karena menikmati dan memprioritaskan kehidupan pribadi yang mandiri, bebas, dan fokus pada diri sendiri.

Apa Itu 'Hyper-Single'?
Istilah hyper-single berasal dari gabungan kata "hyper" (sangat atau ekstrem) dan "single" (lajang), dan digunakan untuk mendeskripsikan mereka yang bukan hanya tidak berada dalam hubungan romantis, tetapi juga secara aktif dan sadar memilih untuk tetap lajang. Mereka bukan sekadar menunggu pasangan ideal datang, tetapi justru membangun hidup yang penuh makna tanpa pasangan.

Para hyper-single menolak pandangan tradisional bahwa kebahagiaan harus dicapai melalui hubungan romantis atau pernikahan. Sebaliknya, mereka memaknai kebahagiaan sebagai kebebasan untuk mengejar mimpi, membangun karier, menikmati waktu sendiri, dan memperkuat hubungan dengan diri sendiri dan lingkungan sosial non-romantis.

Data dan Fakta di Balik Tren Ini
Tren ini bukan sekadar isapan jempol. Menurut data dari Biro Sensus Amerika Serikat (2023), lebih dari 45% orang dewasa tidak menikah dan tidak hidup bersama pasangan. Di Jepang, survei dari National Institute of Population and Social Security Research menunjukkan bahwa lebih dari 60% pria dan 50% wanita lajang tidak tertarik untuk menikah. Sementara di Korea Selatan, istilah honjok gaya hidup individualis yang hidup, makan, dan beraktivitas sendiri semakin populer di kalangan milenial dan Gen Z.

Fenomena serupa juga terlihat di Indonesia, meskipun tidak sekompleks di negara maju. Survei dari Populix (2023) menyatakan bahwa 34% anak muda di Indonesia tidak merasa tergesa-gesa untuk menikah, dan 21% lainnya memilih untuk fokus pada pengembangan diri dan karier sebelum mempertimbangkan hubungan romantis.

Alasan di Balik Pilihan Menjadi 'Hyper-Single'
Ada beberapa faktor utama yang melatarbelakangi pilihan untuk hidup hyper-single, antara lain:

  1. Kemandirian Finansial dan Emosional
    Banyak orang, khususnya perempuan modern, sudah tidak lagi bergantung pada pasangan untuk stabilitas ekonomi. Mereka mampu mandiri secara finansial dan tidak membutuhkan validasi emosional dari hubungan romantis.

  2. Trauma atau Pengalaman Buruk dalam Hubungan
    Sebagian individu memilih untuk sendiri setelah mengalami kegagalan dalam hubungan sebelumnya. Namun, alih-alih memendam luka, mereka justru memulihkan diri dengan lebih fokus pada pertumbuhan pribadi.

  3. Pencarian Makna Hidup yang Lebih Dalam
    Banyak hyper-single percaya bahwa hidup memiliki banyak aspek yang dapat dijelajahi selain cinta romantis, seperti spiritualitas, komunitas, seni, perjalanan, atau bahkan kesendirian yang damai.

  4. Perubahan Norma Sosial dan Budaya
    Norma sosial mengenai pernikahan dan keluarga sudah banyak berubah. Masyarakat semakin menerima keragaman bentuk kehidupan, termasuk pilihan untuk tidak menikah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun