Mohon tunggu...
Diky
Diky Mohon Tunggu... Mahasiswa

My hobbies are playing football and fishing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak dengan HIV: Harapan dalam Keterbatasan

17 Juli 2025   09:23 Diperbarui: 17 Juli 2025   09:23 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto:Anak-anak Dengan HIV, sumber:(AI)

Ketika kita membicarakan HIV/AIDS, jarang sekali perhatian kita tertuju pada anak-anak mereka yang tertular bukan karena pilihan, melainkan karena keadaan. Data dari UNICEF menunjukkan bahwa jutaan anak di seluruh dunia hidup dengan HIV, sebagian besar tertular dari ibu mereka saat kehamilan, persalinan, atau menyusui. Meski terdengar berat, kenyataannya, mereka tetap bisa hidup sehat, bahagia, dan berprestasi jika mendapat perawatan dan dukungan yang tepat.

Mereka Bukan Angka, Mereka Anak-Anak
Anak-anak dengan HIV seringkali hidup dalam ketidakpastian: akses terbatas terhadap pengobatan, stigma dari lingkungan sekitar, dan kurangnya informasi yang tepat. Banyak dari mereka bahkan tak tahu sejak awal bahwa mereka mengidap HIV. Saat akhirnya tahu, beban psikologis dan sosial bisa jauh lebih berat dibanding penyakit itu sendiri. Namun, penting untuk diingat mereka adalah anak-anak. Mereka ingin bermain, belajar, dan bermimpi. Mereka butuh dunia yang memberi ruang, bukan menghakimi.

Kemajuan Pengobatan: Harapan yang Nyata
Berbagai negara kini menyediakan terapi antiretroviral (ARV) gratis bagi anak-anak dengan HIV. Pengobatan ini tidak menyembuhkan, tetapi mampu menekan virus hingga ke tingkat yang sangat rendah, membuat pengidapnya bisa hidup sehat seperti anak-anak lain. Semakin dini terapi dimulai, semakin besar peluang mereka untuk tumbuh normal. Kabar baiknya, dengan dukungan medis dan keluarga yang penuh kasih, banyak anak dengan HIV yang bisa sekolah, bermain, dan tumbuh tanpa komplikasi berat.

Stigma Masih Jadi Musuh Terbesar
Meski pengobatan tersedia, stigma sosial masih menjadi tembok yang sulit diruntuhkan. Banyak keluarga menyembunyikan status anaknya karena takut dikucilkan. Ada pula anak-anak yang ditolak di sekolah atau dijauhi oleh teman-temannya. Maka, peran masyarakat sangat penting. Edukasi publik, terutama di sekolah dan komunitas, menjadi kunci dalam memutus rantai diskriminasi. Mengajarkan sejak dini bahwa HIV tidak menular melalui pelukan, ciuman, atau bermain bersama, dapat mengubah cara pandang generasi mendatang.

Kesimpulan: Di Balik Keterbatasan, Ada Harapan
Anak-anak dengan HIV bukanlah beban. Mereka adalah pejuang kecil yang terus berjuang di tengah keterbatasan. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar obat mereka butuh kasih sayang, penerimaan, dan lingkungan yang inklusif. Sudah saatnya kita berhenti melihat mereka sebagai "penderita", dan mulai menyambut mereka sebagai anak-anak penuh harapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun