Mohon tunggu...
Dicky Wibowo
Dicky Wibowo Mohon Tunggu... dokter hewan -

Instagram: Mlaku Wae Project / Menulis di www.mlakuwae.blogspot.co.id serta menulis fiksi di www.pawonfiksi.blogspot.co.id / dokter hewan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jalur Pedestrian dan Pejalan Kaki

8 November 2017   22:44 Diperbarui: 8 November 2017   23:19 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa waktu lalu, penelitian yang dilakukan oleh salah satu universitas di Amerika Serikat berdasarkan rerata jumlah lagkah kaki harian dari aplikasi penghitung langkah di smartphone memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki aktivitas fisik (jalan kaki) yang paling rendah dari negara-negara lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia malas berjalan kaki. Menurut Koalisi Pejalan Kaki, kondisi ini lebih disebabkan oleh fasilitas pejalan kaki atau pedestrian seperti trotoar yang kurang memadai kemudian kebijakan mudanya memiliki kendaraan bermotor di negeri ini. Sedangkan berjalan kaki, menurut Koalisi Pejalan Kaki, merupakan salah satu budaya negeri ini, tetapi saat ini perlahan dihilangkan.

Dihilangkan oleh siapa?, menurut hemat penulis, dihilangkan oleh penentu kebijakan dan kita sendiri sebagai masyarakat. Misalnya fasilitas pedestrian yang tidak memadai dan kegiatan kita sebagai masyarakat yang penulis katakan sebagai kegiatan "manja" karena kita terbiasa menggunakan kendaraan bermotor padahal jarak yang akan kita tuju tidaklah jauh. 

Menurut hemat penulis, jalur pedestrian atau jalur pejalan kaki dengan luasan yang memadai dan terdapat di setiap tepi jalan di suatu kota serta terbebas dari gangguan (pedagang kaki lima, parkir liar dan sepeda motor yang menerobos) merupakan salah satu dari kota yang beradab atau berperadapaban tinggi, apalagi jika ditambah dengan kesadaran dan budaya masyarakatnya yang berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum, maka penulis dapat mengatakan bahwa kota tersebut adalah kota yang sangat beradab.

Lantas apakah kota-kota di Indonesia sudah menjadi kota yang beradab?, karena penulis bukan ahli di bidang tata kota, maka penulis tidak bisa menjelaskan berdasarkan data-data. Namun, berdasarkan perjalanan yang pernah penulis lakukan, kota besar di negeri ini belum lah beradab (subyektif penulis) atau denga kata lain, jalur pedestrian di kota-kota tersebut belum lah sepenuhnya ramah pejalan kaki. 

Kota Surabaya mungkin bisa dibilang lebih baik dalam jalur pedestrian daripada DKI Jakarta. Lantas apakah kedepannya jalur-jalur pedestrian dapat lebih berkembang lagi di kota-kota besar Indonesia?, entahlah, tetapi penulis agak pesimis dengan hal tersebut, lantaran mudahnya kepemilikan kendaraan pribadi seperti motor dan mobil menjadikan kita berpikir lagi bahwa kita sudah tidak butuh lagi jalur pedestrian, selain itu pemerintah daerah yang berkala berganti dengan ego-nya masing-masing menjadikan kebijakan pro-pejalan kaki hanya akan menjadi angan-angan saja.

Penulis agak kaget ketika mendengar ada petinggi yang menyatakan bahwa pejalan kaki merupakan salah satu penyebab kemacetan di salah satu titik di kota Jakarta. Kaget bercampur kaget setengah mati, pernyataan seperti ini menurut penulis sangatlah tidak mendidik di tengah ancaman hilangnya budaya jalan kaki masyarakat kota besar. Akar masalah utama terdapat di titik lain, dan pejalan kaki seperti pernyataan si petinggi adalah efek dari akar masalah utama. Namun, harapan penulis, semoga pernyataan tersebut hanyalah sarapan pagi saja, karena masih terdapat makan siang dan makan malam, bahkan masih terdapat cemilan lain.

Berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum haruslah kita galakkan, karena banyak manfaat yang dapat kita petik. Penghematan bahan bakar fosil dan pengurangan polusi udara merupakan salah satu manfaat langsung yang dapat dicapai. Selain itu, pariwisata suatu kota akan dapat terangkat baik langsung atau tidak langsung dengan semakin manusiawinya jalur pedestrian. Semoga saja pemerintah daerah yang berkala berganti dapat menurunkan ego pribadinya, sehingga kebijakan yang seperti diuraikan di atas dapat dikembangkan, bukannya dilupakan dan ditiadakan, semoga.

Ditulis juga di www.mlakuwae.blogspot.co.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun