Mohon tunggu...
Dicky Ananda Fajri
Dicky Ananda Fajri Mohon Tunggu... UIN SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

MAHASISWA UIN SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refleksi Filsafat: Manusia, Teknologi, dan Pencarian Diri

15 Oktober 2025   01:45 Diperbarui: 15 Oktober 2025   01:45 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Dalam perbincangan tentang bioetika, khususnya mengenai cloning manusia, aku tidak melihatnya sekadar sebagai persoalan ilmiah. Ia lebih dalam dari itu menyentuh inti dari hakikat manusia itu sendiri.
Ketika orang berbicara tentang "menciptakan manusia unggul," aku selalu bertanya: unggul dalam hal apa? Fisik? Kecerdasan? Atau justru kesadaran?

Bagiku, keunggulan manusia tidak diukur dari kecakapan berpikir atau kecerdasan buatan yang ia hasilkan, melainkan dari kemampuannya menyadari dirinya sebagai makhluk yang hidup di hadapan Tuhan dan sesama.
Manusia unggul adalah ia yang sadar akan keterbatasannya, bukan yang berusaha meniadakan batas itu.

Cloning manusia bukan hanya menimbulkan pertanyaan etis, tetapi juga eksistensial. Apakah sosok yang tercipta benar-benar "manusia," atau sekadar proyek yang dirancang dengan tujuan tertentu? Di titik ini, hakikat manusia terasa mulai kabur. Ia tidak lagi menjadi subjek yang bebas, melainkan objek alat bagi ambisi dan eksperimentasi manusia lain.

Aku teringat pada peringatan Martin Heidegger, bahwa manusia modern cenderung menjadikan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, sebagai sumber daya.
Teknologi, dalam hal ini cloning, memperlihatkan bagaimana manusia kini melihat dirinya bukan lagi sebagai makhluk yang bermakna, melainkan sebagai sesuatu yang dapat diatur, diukur, dan dimanipulasi.

Namun, di balik persoalan teknologis itu, tersembunyi bahaya yang lebih halus tapi lebih besar: kesombongan manusia terhadap Tuhan.
Ketika manusia mulai merasa mampu mencipta kehidupan, bukankah itu berarti ia sedang bermain peran sebagai Tuhan?
Kita telah melihat bentuknya bahkan hari ini ketika gelar spiritual bisa direkayasa, dan "keistimewaan ilahi" menjadi komoditas. Maka tidak mustahil, di masa depan, manusia akan "bermain ketuhanan" melalui tangan teknologi.

Di sinilah gema Nietzsche terasa begitu dekat: "Tuhan telah mati, dan kitalah yang membunuh-Nya."
Aku tidak menafsirkan kalimat itu secara ateistik, melainkan secara moral. Bahwa manusia telah membunuh Tuhan di dalam hatinya, ketika hidupnya tak lagi mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.
Tuhan mati bukan karena tiada, melainkan karena manusia berhenti mencari makna di luar dirinya.

Padahal, Nietzsche sendiri tidak mengajarkan penciptaan manusia unggul melalui mesin, melainkan melalui perjuangan melampaui diri sendiri.
bermensch bukanlah hasil laboratorium, melainkan hasil kesadaran, penderitaan, dan keberanian untuk hidup secara otentik.
Manusia unggul lahir dari proses menjadi, bukan dari proses mencipta yang artifisial.

Maka bagiku, jalan untuk memahami keunggulan manusia bukanlah dengan meniru Tuhan, tetapi dengan menyadari keberadaan kita di hadapan nya.
Teknologi boleh terus berkembang tanpa batas, tetapi manusia sejati adalah ia yang tidak kehilangan arah yang tetap sadar bahwa di balik kemampuan menciptanya, ada tanggung jawab moral dan spiritual yang jauh lebih besar.

Dan mungkin, di akhir segala kemajuan ini, pertanyaan yang perlu kita ajukan bukan lagi "seberapa jauh teknologi dapat membawa kita?" melainkan "apakah kita masih mengenali diri kita sendiri ketika sampai di sana?"
Sebab mungkin, tragedi terbesar manusia modern bukanlah ketika ia gagal menciptakan kehidupan baru, tetapi ketika ia kehilangan makna dari kehidupan yang telah dimilikinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun