Public common sense selama ini memandang negatif setiap perumusan dari suatu rancangan undang-undang (RUU). Lantaran dalam prosesnya sering kali dicampuri kepentingan entitas kekuasaan sampai mengesampingkan prinsip partisi publik. Bisa saja, common sense itu merupakan bentuk kekecewaan masyarakat sipil (civil society) terhadap hukum negara—mulai dari proses pembentukan sampai dengan potret penegakan hukum yang jauh dari cita-cita negara hukum.
Bila kondisinya terus seperti ini, secara bertahap masyarakat sipil akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum negara. Pelan-pelan, nantinya akan menciptakan sinisme terhadap setiap upaya dalam memperbarui produk hukum negara, sekalipun dilandasi spirit reformasi. Extreme-nya, bila ruang perdebatan publik tidak segera terbuka, fenomena ini dapat melemahkan supremasi hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau yang lebih kita kenal sebagai ‘aturan main’ dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam proses revisinya kali ini, menyimpan harapan dan kontroversi yang terus memicu berbagai opini diantara gerakan civil society, akademisi dan pemerintah. Masing-masing elemen berdebat tentang berbagai hal—mulai dari kewenangan, perlindungan pada korban, hak pelaku kejahatan, hingga posisi pembela hukum.
Serangkaian berita, opini, hingga gagasan pro dan kontra muncul, hal ini menandakan ruang perdebatan publik mulai terbuka dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa civil society masih memiliki kesadaran hukum yang baik. Namun kabar buruknya, kontroversi ini memunculkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran HAM hingga cara ideal meletakkan prinsip progresif yang terkandung dalam KUHP untuk diwadahi dalam KUHAP nantinya.
Dengan uraian tersebut, penulis akan coba membahas revisi KUHAP tahun 2025 dalam spektrum pembangunan hukum di Indonesia. Tulisan ini akan mengkaji apakah kerja-kerja memperbarui produk hukum selalu identik dengan spirit pembaharuan hukum? Atau apakah dengan realitas penyusunan KUHAP yang baru, bisa dikatakan telah dilakukan pembaruan hukum pidana?
Sejarah Nasionalisasi Hukum Kolonial Belanda
Negara kita pada awal kemerdekaan belum memiliki hukum yang bersumber dari nilai-nilai hidup masyarakat yang berlaku secara nasional berdasarkan pertimbangan politik dan nasionalisme. Sehingga segala peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa kolonial Belanda masih tetap berlaku melalui proses nasionalisasi sepanjang sesuai dengan kebutuhan negara yang merdeka, berdaulat dan religius. Hal ini berkat penerapan asas korkondansi.
Seiring perkembangannya, beberapa instrumen hukum Belanda masih mempengaruhi sistem hukum Indonesia hingga sekarang —merujuk pada perangkat hukum yang dibawa dan diterapkan selama masa penjajahan. Sebagai contoh saja, dua diantaranya yang terkenal seperti Burgerlijk Wetboek (BW) yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Wetboek van Strafrecht (WvS) yang merupakan KUHP.
Kemudian proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh founding father pada tanggal 17 Agustus 1945, menandakan awal pemberlakuan hukum nasional yang didasarkan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Berbagai undang-undang kolonial Belanda pada masa itu disusun dan dirancang kembali oleh anak bangsa.
Adapun instrumen hukum pidana yang disusun kembali pasca kemerdekaan mencakup Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).