Ketika Menjilat Dianggap Jalan Pintas
Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata dengan nada bercanda, "Ya maklum, gue kan jago menjilat atasan"? Sekilas terdengar lucu, seperti sebuah candaan ringan yang dianggap wajar di lingkungan kerja. Tapi kalau direnungkan lebih dalam, pernyataan itu justru menunjukkan betapa rusaknya cara berpikir yang mulai dianggap normal.
Menjilat atasan---dengan kata lain mencari muka secara berlebihan, memuji tanpa ketulusan, atau menuruti semua kemauan atasan tanpa kritik---sering dianggap sebagai strategi untuk bertahan. Padahal kalau mau jujur, itu bukan sekadar taktik. Itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap harga diri Anda sendiri.
Anda bisa saja sementara terlihat "aman" dengan menjilat. Mungkin mendapatkan posisi tertentu, atau dipuji karena loyalitas. Tapi apakah benar itu loyalitas? Atau sekadar ilusi karena Anda menukar kemampuan, prinsip, dan kejujuran dengan sesuatu yang dangkal?
Mengapa Orang Sampai Menjilat?
Pertanyaan ini penting: apa yang sebenarnya membuat seseorang tega menjilat orang lain demi keuntungan? Kalau ditelusuri, ada beberapa alasan yang sering muncul.
Ada orang yang menjilat karena takut. Takut kehilangan pekerjaan, takut tidak dipromosikan, takut tidak disukai atasan. Rasa takut membuatnya rela menanggalkan logika dan sikap kritis.
Ada juga yang menjilat karena malas berusaha. Jalan pintas selalu lebih menggoda daripada kerja keras. Menyusun ide, membuktikan kinerja, atau mengembangkan kemampuan butuh waktu dan tenaga. Sedangkan menjilat terasa cepat dan instan.
Lalu ada pula yang menjilat karena iri. Mereka melihat orang lain sukses dengan kemampuan, lalu merasa tidak sanggup menandingi. Daripada membangun kualitas diri, mereka memilih jalan yang lebih mudah: mencari perlindungan di bawah bayang-bayang atasan.
Dalam psikologi, perilaku seperti ini sering muncul dari pola pikir yang rendah diri. Ketika seseorang tidak yakin dengan nilai dirinya, ia akan mencari pengakuan dari luar, meski dengan cara yang merendahkan diri sendiri. Padahal semakin dicari pengakuan semacam itu, semakin dalam jurang ketergantungan yang ia gali.
Cermin dari Kehidupan Sehari-hari
Coba bayangkan sebuah rapat kantor. Ada satu orang yang selalu setuju dengan apa pun kata atasan. Bahkan ketika usulan atasan jelas-jelas tidak realistis, ia tetap angguk-angguk sambil tersenyum. Seolah-olah itu ide paling jenius di dunia.
Di sisi lain, ada rekan lain yang berani menyampaikan catatan dengan sopan. Ia tidak menentang, tapi memberi masukan supaya rencana lebih matang.