Ada sebuah kebenaran yang sunyi, yang sering kali luput di tengah kesibukan hidup. Ia tidak muncul dengan sorotan, tidak pula menggema dengan suara keras. Tapi ia hadir---halus, konsisten, dan jujur. Kebenaran itu sederhana: apa yang paling sering Anda bicarakan mencerminkan apa yang paling Anda hargai dalam hidup.
Ucapan bukan sekadar alat tukar informasi. Ia adalah jendela menuju isi hati. Kalimat demi kalimat, topik demi topik yang muncul dalam percakapan sehari-hari membentuk gambaran---tentang apa yang menjadi pusat perhatian, tentang apa yang sedang Anda kejar, dan tentang siapa diri Anda saat ini.
Percakapan Adalah Cermin
Kalau seseorang menghabiskan cukup waktu bersama Anda, kemungkinan besar mereka bisa menebak apa prioritas Anda, cuma dari cara Anda berbicara. Mungkin Anda sering menyebut tentang barang-barang baru, teknologi terbaru, rencana keuangan, atau keuntungan investasi. Atau mungkin, percakapan Anda lebih sering berputar di sekitar karier, jabatan, gelar, dan pengaruh.
Tapi ada juga yang ketika berbicara, yang muncul adalah cerita tentang amal, tentang kebaikan, tentang memberi. Tentang keadilan dan harapan. Semua ini bukan kebetulan. Setiap topik adalah petunjuk tentang apa yang sedang Anda peluk erat di dalam hati.
Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari & Muslim). Ucapan bukan sekadar aktivitas lahiriah; ia adalah cerminan keimanan. Kata-kata yang Anda keluarkan mencerminkan nilai-nilai yang Anda pegang teguh, baik Anda sadari maupun tidak.
Lisan Mewakili Isi Hati
Al-Qur'an memberikan gambaran mendalam tentang keterkaitan antara hati dan ucapan. Dalam Surah Al-A'raf (7:179), Allah berfirman:
"Mereka mempunyai hati, tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
Ayat ini tidak berbicara tentang organ yang tidak berfungsi secara fisik. Ia menggambarkan kehampaan batin. Ketika hati tertutup, maka lisan pun kehilangan arah. Kata-kata yang keluar tak lagi bermakna, cuma membicarakan hal-hal yang remeh, kosong, dan sesaat.
Dalam psikologi kognitif, ada istilah selective attention---perhatian selektif. Manusia cenderung memperhatikan dan membicarakan hal-hal yang dianggap penting, bahkan tanpa disadari. Bila Anda sedang fokus membeli rumah, hampir semua percakapan akan nyambung ke properti. Bila Anda sedang mengejar jabatan, Anda mungkin tanpa sadar terus membicarakan pencapaian atau persaingan. Ini bukan kebetulan. Lisan cuma mengikuti arah hati.
Ketika Ucapan Mengulang, Nilai Menguat
Apa yang sering Anda bicarakan, tidak cuma mencerminkan nilai-nilai Anda---tapi juga memperkuatnya. Dalam ilmu psikologi sosial, ada teori yang menyatakan kalau perilaku, termasuk ucapan, bisa membentuk persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, semakin Anda berbicara tentang suatu hal, semakin besar kemungkinan hal itu menjadi bagian penting dari jati diri Anda.