Ada masa-masa dalam hidup ketika beban tagihan yang belum dibayar terasa lebih berat dari apa pun. Sewa rumah jatuh tempo, isi kulkas mulai menipis, dan ponsel terus berbunyi dengan pengingat dari penagih utang. Dalam saat-saat seperti ini, ketegangan dalam rumah tangga menjadi sangat nyata. Keheningan terasa tajam, kata-kata berubah menjadi sindiran, dan orang-orang yang dulu terasa dekat mulai terasa asing. Ini bukan cuma tentang uang --- ini tentang bertahan secara emosional. Tekanan finansial tidak pernah datang sendirian. Ia sering membawa serta kemarahan, rasa malu, rasa bersalah, dan perasaan tidak berdaya. Dan dalam keluarga, semua emosi ini tidak pernah menguap begitu saja. Mereka menetap diam-diam di dalam hubungan, menciptakan luka yang sering kali tidak tahu bagaimana caranya untuk disembuhkan.
Banyak orang pernah melewati musim-musim seperti ini --- ketika pertengkaran bukan soal siapa yang lupa mencuci piring, atau siapa yang lupa menjemput anak. Ketegangan sesungguhnya hidup di balik layar: rasa takut kehabisan, rasa tidak cukup, rasa gagal. Dan rasa takut itu sering menyamar menjadi kejengkelan, sarkasme, atau bahkan keheningan. Lama-lama, kalau dibiarkan, hal ini bisa mengurai ikatan cinta yang paling kuat sekalipun.
Tapi selalu ada harapan. Ada cara untuk tetap menjaga kasih sayang, bahkan saat uang terasa sangat terbatas. Dan ada hikmah --- baik dari ajaran spiritual maupun dari ilmu psikologi --- yang bisa memberi panduan lembut di tengah musim-musim yang menyakitkan ini.
Biaya Emosional yang Tak Terlihat dari Kesulitan Ekonomi
Ketika orang membicarakan kesulitan ekonomi, pembicaraan sering kali cuma menyentuh permukaan: tingkat pendapatan, jumlah utang, atau besaran pengeluaran. Tapi di balik angka-angka dan aplikasi anggaran, ada kebenaran yang lebih sunyi --- yaitu beban emosional dari kekurangan. Tekanan finansial bisa terasa seperti suara bising yang terus menyala di latar belakang. Ia membangunkan di pagi hari dan masih menemani sampai malam. Ia membuat emosi lebih mudah meledak, dan kesabaran menjadi lebih tipis.
Ilmu psikologi mengakui dampak ini. Banyak penelitian menunjukkan kalau tekanan finansial sangat berkorelasi dengan kecemasan, depresi, dan konflik dalam hubungan. Pikiran manusia memandang ketidakamanan finansial sebagai ancaman --- tidak beda jauh dari bahaya fisik --- sehingga memicu sistem stres tubuh. Hal ini membuat seseorang lebih sulit berpikir jernih, berkomunikasi dengan tenang, atau merespons dengan empati. Dalam keluarga, semua ini kerap muncul dalam bentuk saling menyalahkan, pertengkaran, atau penarikan diri secara emosional.
Tapi ini bukan cuma soal hormon stres. Ini juga soal makna. Dalam banyak budaya, kekayaan sangat berkaitan dengan harga diri. Tidak mampu mencukupi kebutuhan, atau harus bergantung pada orang lain, bisa terasa seperti kegagalan pribadi --- meskipun sebenarnya bukan. Hal ini sangat dirasakan oleh laki-laki, yang dalam banyak konteks sosial merasa malu kalau tidak mampu menjalankan peran sebagai pencari nafkah. Di sisi lain, perempuan yang bertanggung jawab dalam mengelola keuangan rumah tangga atau mengurus anak pun bisa memendam rasa bersalah atau kecewa kalau merasa tidak mendapat dukungan.
Tidak heran kalau banyak pertengkaran keluarga --- yang terlihat soal uang --- sebenarnya berakar pada ketakutan yang tak terucap dan kebutuhan emosional yang belum terpenuhi.
Bukan Cuma Orang Miskin yang Mengalami Kesulitan
Ada anggapan umum kalau cuma orang miskin yang mengalami kesulitan finansial. Tapi kenyataannya, kesulitan bisa hadir dalam berbagai bentuk. Sangat mungkin seseorang punya penghasilan besar tapi tetap merasa kekurangan --- kalau gaya hidup dan pengeluarannya terus melebihi pendapatan. Inflasi gaya hidup, tekanan sosial, konsumsi berbasis utang --- semua ini bisa membuat orang dengan penghasilan tinggi pun merasa kewalahan.
Al-Qur'an mengingatkan manusia akan kecenderungan berlebih-lebihan:
"Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra: 27)
Ayat ini mengingatkan dengan lembut kalau hidup berlebihan bukan cuma kesalahan keuangan, tapi juga ketidakseimbangan spiritual. Hidup melampaui kemampuan bukan sekadar soal angka --- sering kali ini berkaitan dengan keinginan untuk diterima, mengejar status, atau melarikan diri dari rasa sakit batin. Dan ketika pola ini berujung pada utang atau ketidakamanan, dampaknya terasa dalam seluruh aspek kehidupan --- termasuk dalam keluarga.