Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Hidup Tenteram

16 Januari 2021   03:33 Diperbarui: 16 Januari 2021   07:17 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wah, enak yang tinggal di kampung. Lebih ayem. Lebih tenang," kata seorang teman.

Sik. Apa yang dapat dijadikan tolok-ukur? Atau, apa yang dapat disepakati tentang pengertian hidup tenteram?

Dari istilah, bila diasumsikan bahasa Jawa sudah lebih dulu dipakai daripada bahasa Indonesia, maka kata tenteram mengapdosi kata "tentrem" dalam bahasa Jawa.

Sepagi kemarin, mengikuti sebuah acara di Hotel Tentrem Yogyakarta. Hotel bagus dan mewah yang dilokalmaknai secara lebih ugahari dengan nama yang sangat sehari-hari: tentrem.
 
Secara sepintas, bisa saja ada yang berpendapat bahwa hotelnya biasa, bila dirujukkan dengan namanya. Tapi kesan biasa pasti akan segera hilang bila sudah memasuki ruang-ruangnya.

Ketinggian floor-to-floor yang elegan. Pintu ruang rapat yang tingginya "hanya" sekitar 3 meter dengan ukiran yang by design. Dan tentu mahal. Lantai dan dinding lobby yang berbahan material keras kelas satu. Ornamen dan hiasan yang tidak sembarangan. Bangku-bangku berbilah lembaran kayu jati yang pasti jauh dari kata "murah".

Wis, pokoke kata "tenteram" mendapat pemaknaan yang sepadan dengan kualitas fisiknya di Hotel Tentrem. Beberapa kali masuk ke Hotel Tentrem masih saja mengagumi detailingnya. Sambil "ethok-ethoknya" ikut menikmati suasana meruang yang tidak biasa-biasa saja. Pendeknya, merasa tenteram di Hotel Tentrem.

Kalau begitu, apakah tenteram itu mahal?

Tentu ini dapat relatif. Bila merujuk pada tarif sewa dan inap di Hotel Tentrem, maka setidaknya akan ada dua kelompok persepsi.

Persepsi pertama, dapat mengatakan tidak murah untuk mendapatkan dan menikmati kualitas fasilitas hotel. Merujuk pada pengorbanan sumberdaya.  

Persepsi kedua, dapat mengatakan tidak mahal untuk itu. Asumsi yang dipakai karena harga yang dibayarkan tersubstitusikan secara memadai. Ya kalau akan mendapat kualitas yang baik, ya harus mengeluarkan sumberdaya untuk itu.

Maka keduanya adalah argumen yang dapat dipahami. Dan manajemen Hotel Tentrem tentu berada di positioning yang tepat untuk mengomunikasikan produknya secara tepat pula. Konsep marketing memasukkan added-value sebagai benefit atas suatu pengorbanan ekonomis untuk mencapai manfaat yang lebih maksimal. Ada bejibun rujukan literatif untuk itu. Juga dari guru-guru yang top-jaya-sentosa.

Kata tenteram sendiri menurut KBBI on-line merujuk pada tidak adanya kekacauan atau adanya rasa aman, lalu terdapat rasa tenang.

Siapa yang tidak ingin hidup aman dan tenteram? Aman dari siapa dan tenteram seperti apa?

Ini adalah pertanyaan yang dapat menghadirkan jawaban yang panjang. Setidaknya ada aspek psikologis yang harus terwadahi, ada aspek ekonomis yang harus terpenuhi. Dan lagi-lagi jawabannya tentu menjadi relatif dimana tolok-ukur dan titik-tolak setiap orang dapat berbeda-beda.

Saya menyebutnya Pakde Sabar. Katakan saja begitu. Lama kerja di Kali Mantan. Eh,  Kalimantan. Memiliki karier yang bagus. Dengan aset yang baik. Relasi yang baik.

"Aku arep urip nang ndesa maneh. Sing ayem. Sing tentrem," kata Pakde Sabar. Aku hendak tinggal di kampung saja di masa tua supaya lebih damai dan tenteram. Itu sebelum aset di Kalimantan dijual dan pindah ke kampung halaman.

Singkat cerita perpindahan itu terjadi. Beliau bersemangat. Ada nostalgia yang hadir kembali tentang suasana kampung. Ada sanak, ada saudara. Ada kerabat, ada sahabat di masa lalu. Sebagian asetnya ditanamkan pada hal menguntungkan secara pendapatan.

Dalam perjalanannya, ada masalah-masalah yang timbul. Ada persoalan yang muncul. Cara komunikasi ala kampung yang ada di benaknya berbeda dari kenyataan. Orang berubah. Kebiasaan bergeser. Tabiat beranjak.

"Rumangsaku luwih enak nang Kalimantan, Mas. Aku kenal wong-wonge. Kanca-kancaku. Nang kene aku wis ra patek paham. Wis rubah," kata Pakde Sabar.

Kampung halaman bukan yang dulu lagi. Suasana dan orangnya. Dia tidak dapat terus menerus berada dalam suasana nostalgia pada masa lalu. Ada masa kini yang secara logis harus dihadapi, diselesaikan dan diterima. Dan Pakde Sabar merasa itu tidak mudah di usia tuanya.

"Tempat ternyata sama saja. Ada hal. Ada persoalan. Masalahnya bukan pada lokasi," kata Pakde Sabar, akhirnya.

Idealisasi situasi sering tidak tercapai. Hidup tenteram sering tidak didapat. Karena ketenteraman adalah proses menuju dan tidak sekedar pilihan untuk menjadi. Ada persoalan. Ada konflik. Ada tekanan. Mungkin yang perlu dilakukan adalah berdamai dengan situasi dan diri sendiri atas pilihan-pilihan yang diambil. Ada resiko, ada konsekuensi atas pilihan.

Lokasi bisa jadi sama sekali tidak menjadi penting.*

| Posong | 16 Januari 2021 | 3.08 |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun